3. Pengakuan

142K 7.5K 133
                                    

Hanya orang-orang berjiwa besar yang berani mengakui kesalahannya.

Trinity melirik buku yang dipegang Zaki. Layar Terkembang, itu judulnya. Sungguh dia tak menyangka, cowok dengan reputasi seperti Zaki, yang hampir tidak pernah terlihat memegang buku selain buku pelajaran, apalagi membacanya di luar kelas, mau membaca buku seperti itu. Setahunya saat ini sedang tidak ada tugas pelajaran Bahasa Indonesia yang mengharuskan membaca karya sastra Pujangga Baru. Kalau pun ada tugas membuat resensi novel, boleh memilih novel yang diterbitkan di masa kini. Dua tahun lebih Trinity menjadi anggota perpustakaan dan nyaris setiap hari berkunjung ke sini, baru kali ini dia melihat Zaki berada di sini, sedang membaca buku pula. Sejak kapan cowok itu suka membaca buku sastra?

"Zaki, tentang kejadian kemarin ..." ucap Trinity, kembali fokus dengan niatnya menyampaikan hal penting pada cowok itu, menyudahi keheranannya akan keberadaan Zaki di sini.

Zaki menoleh, mengernyitkan alis.

"Elo pasti tau kan, dilarang ngobrol di perpustakaan," sahutnya masih dengan sikap tak peduli, lalu kembali menatap buku yang dipegangnya.

Trinity termangu, mendadak kebingungan, tak tahu harus berbuat apa. Ucapan Zaki tadi benar-benar bagai menamparnya. Sebagai pengunjung setia perpustakaan, tentu saja dia tahu, dilarang berisik di sini, dan yang mengingatkannya Zaki. Trinity mengerjap, saat dengan tiba-tiba Zaki menutup buku yang dibacanya, lalu berbalik menghadapnya.

"Kalo ada yang mau diomongin, ayo kita keluar. Biar nggak ganggu yang lain," katanya pada Trinity, lalu berjalan santai melewati gadis itu. Trinity bagai terkena mantra, kakinya melangkah begitu saja mengikuti Zaki. Menunggu cowok itu mengurus buku yang akan dipinjamnya. Setelah selesai, dia melangkah keluar tanpa bicara. Trinity terus mengikutinya.

"Jadi, elo mau ngomong apa?" tanya Zaki setelah mereka berada di luar.

Trinity melirik sekelilingnya, beberapa anak lalu lalang. Matanya mencari tempat yang lebih memberi privasi. Zaki seperti tahu maksudnya, cowok itu melangkah ke tempat yang lebih lapang. Lagi-lagi Trinity hanya mengikutinya tanpa berkomentar.

"Elo bisa ngomong sekarang," kata Zaki pada Trinity, setelah mereka berada di depan bagian paling ujung gedung perpustakaan, jauh dari lalu lalang siswa siswi lain

"Tentang kejadian kemarin," sahut Trinity.

Zaki mengangkat alis.

"Kenapa dengan kejadian kemarin. Ada masalah?"

"Gue pingin ngaku ke Pak Sam."

Zaki melotot. "Serius?" katanya bernada sinis.

Trinity mengangguk.

"Elo berani menanggung akibatnya?"

"Apa pun akibatnya akan gue hadapi. Gue nggak biasa berbuat curang. Hidup gue rasanya nggak tenang. Gue nggak sedang minta izin elo. Gue cuma sekadar ngasih tau, saat nanti gue ngaku, mau nggak mau gue harus nyebut nama lo, Bobby, Devan, Jorgi, Ilham."

Zaki kembali bersikap sinis.

"Kalo gue sih nggak masalah. Gue dan anak-anak sering dihukum guru. Udah biasa. Tapi elo, nggak takut imej lo sebagai anak baik-baik, cerdas berprestasi bakal rusak?"

Trinity menghela napas.

"Mengakui pernah berbuat salah lebih baik, daripada jadi penipu," katanya yakin.

"Wow! Hebat." Hanya itu komentar Zaki sambil lagi-lagi mengangkat alisnya dan menyeringai lebar.

"Gue berniat melakukan ini bukan supaya dianggap hebat, tapi karena gue terbiasa jujur."

Listen To My Heartbeat [Sudah Terbit]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن