6. Berkah Hukuman

110K 6.9K 416
                                    

"Eh, maksud gue, lo di sini terus? Dari tadi tiap gue lewat depan gerbang sekolah selalu lihat lo lagi ngawasin gue." Trinity menjelaskan maksudnya.

Neo masih memandanginya tanpa bicara.

"Jangan ge-er, gue tadi nyebut "kamu" itu karena, yaah, ngomong sama lo memang bikin gue terancam ikut-ikutan ngoceh dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar."

Neo berdehem.

"Pertama, nggak ada salahnya bicara dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kalau bukan kita yang melestarikan bahasa Nasional, siapa lagi? Kedua, kamu juga jangan ge-er, aku nggak mengawasi kamu," katanya, tak mau kalah menjelaskan maksudnya juga.

"Ngomong dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar kan ada waktunya. Pas acara formal, bikin makalah, jawab soal ujian. Kalau cuma ngobrol sama teman sih, pakai bahasa obrolan sehari-hari aja kali," sanggah Trinity.

Kali ini Neo enggan membantah, dia hanya diam memandangi Trinity yang mulai bisa bernapas normal.

"Oya, kalo lo nggak ngawasin gue, ngapain dong dari gue mulai lari sampai gue selesai elo ada di sini. Memangnya lo nggak makan siang?" lanjut Trinity setelah ditunggunya Neo tidak menyahuti ucapannya.

"Menunggu kamu." Singkat jawaban Neo, tapi membuat Trinity hampir tersedak. Dia terbatuk-batuk, lalu buru-buru minum seteguk lagi.

"Nunggu gue ngapain?"

"Aku ingin mengajak kamu makan siang bareng."

Mata Trinity membulat. Aneh. Aneh. Aneh. Sejak kapan cowok yang biasanya dingin ini menjadi sangat peduli seperti ini?

"Tumben ngajak makan siang bareng. Mencurigakan," sindir Trinity. Dia mulai melangkah memasuki halaman sekolah. Neo mengiringi di sampingnya.

"Nggak usah curiga. Peduli sama teman sekelas nggak ada salahnya, kan?"

"Salah sih nggak, cuma aneh."

"Aneh kenapa?"

"Selama ini kita nggak akrab. Walau lo juara satu dan gue juara dua di kelas, tapi lo seperti sosok yang nggak mau diganggu. Nggak pernah membaur dengan teman-teman sekelas. Belajar sendiri, datang paling dulu, pulang juga paling dulu. Jarang ngobrol dengan teman. Bahkan lo nggak akrab dengan teman sebangku lo sendiri. Aneh."

"Memangnya kamu akrab dengan teman sebangkumu?"

Trinity terenyak, teringat baru saja dia mengobarkan api permusuhan pada Reyana. Sebenarnya dia tidak ada masalah dengan Reyana. Tapi teman sebangkunya itu sepertinya sangat marah pada Trinity.

Anehnya, Neo benar. Dia memang tidak terlalu akrab dengan teman sebangkunya itu. Sahabatnya di sekolah ini adalah Shania, yang tahun ini tidak satu kelas lagi dengannya. Entah mengapa dia kurang cocok dengan Reyana. Sejak awal masuk di kelas dua belas hingga menjelang pertengahan semester. Mungkin karena mereka berbeda dalam segala hal. Hobi, aktor kesukaan, musik favorit.

Reyana lebih akrab dengan Cecil, Diandra dan Prily. Keempat gadis itu punya selera dan pandangan sama. Sayangnya, Reyana kurang beruntung mendapat tempat duduk bersebelahan dengan Trinity, bukan dengan salah satu sahabatnya.

Trinity mengerjap, baru menyadari sesuatu. Dan Neo, sejak kapan Neo mengamati dia tidak akrab dengan Reyana? Jangan-jangan cowok itu memperhatikannya diam-diam? Ugh!

"Jadi bagaimana?"

Trinity tersadar, refleks dia menoleh pada Neo yang masih berjalan di sampingnya.

"Gimana apanya?" tanyanya polos.

"Mau makan siang bareng?"

Trinity menelan ludah, memandangi wajah menawan Neo, rasa terheran-heran bercampur perasaan melambung memenuhi dadanya. Neo, cowok yang sejak kelas sepuluh sudah dikaguminya, mendadak mengajaknya makan siang. Memang hanya makan siang, tapi kan ... tidak semua anak perempuan di sekolah ini mendapat kehormatan ditawari makan bersamanya.

"Kayaknya udah nggak sempat deh makan siang. Tapi kalo lo mau nraktir minum boleh juga," sahutnya kemudian, menjawab dengan nada riang, menyembunyikan degup jantungnya yang berdenyut lebih cepat.

"Gue ganti baju dulu ya," tambahnya.

Neo mengangguk. "Aku tunggu di kantin," sahutnya.

Trinity melangkah menuju kelasnya tak bisa menyembunyikan rasa senang. Karena ujian lari ini Pak Sam menentukan lari sejauh 2 km, yang disebut sebagai lari jarak menengah. Trinity melirik jam tangannya. Waktu yang tersisa tidak banyak untuk sekadar menyantap sepotong camilan dan meneguk sari buah dingin di kantin.

Trinity bergegas mengambil pakaian seragamnya di kelas, lalu buru-buru berganti pakaian di toilet. Usai kembali mengenakan seragam sekolahnya, dis langsung ke kantin menyusul Neo. Dia masukkan pakaian olahraganya yang basah karena keringat ke dalam tote bag yang sudah dia siapkan. Lalu bergegas setengah berlari menuju kantin.

"Hai, mau makan siang? Memangnya masih sempat?"

Trinity menoleh mendengar suara seseorang di sampingnya. Zaki, menyeringai lebar kepadanya.

"Nggak, cuma mau minum aja," sahutnya santai.

"Gue lihat tadi udah ada yang nyiapin minum buat lo."

"Neo? Cuma sebotol. Masih kurang. Lagian gue butuh minuman manis buat ganti energi gue yang ludes gara-gara lari tadi."

"Perhatian banget ya dia sama lo."

Trinity menoleh lagi, mengernyit heran mendengar ucapan Zaki yang mengandung nada sindiran. Mengapa hari ini aneh sekali? Kenapa mendadak dua cowok ini, yang selama ini tak pernah peduli dengannya mendadak sangat peduli? Dia tidak sedang bermimpi kan?

"Kalau iya, memangnya kenapa? Masalah buat lo?" sahut Trinity membalas agak sinis.

"Nggak masalah. Wajarlah dia peduli sama lo. Kalian kan sama-sama murid paling genius di kelas."

"Lo nyindir ya?" kata Trinity melirik curiga.

"Nggak, biasa aja. Seperti yang sering lo bilang, cowok kayak dia pastilah perhatian sama cewek kayak lo."

"Elo ini kenapa sih? Sirik banget sama gue dan Neo."

Zaki terkekeh. "Jangan geer. Lo nggak sepenting itu sampai perlu gue sirikin," katanya, lalu berjalan lebih cepat mendahului Trinity. Tapi baru beberapa langkah dia menoleh.

"Btw, selamat ya. Lo pasti sekarang lega banget udah mengakui kesalahan lo ke Pak Sam. Lo nggak perlu merasa jadi penipu lagi. Dan ternyata ..." Zaki menggantung kalimatnya, mengangkat bahu, lalu melanjutkan,"hidup lo baik-baik aja. Lo lolos dengan mudah."

Trinity mengatupkan bibirnya kuat-kuat, menatap Zaki hingga matanya menyipit dan pangkal alisnya hampir menyatu. Sementara Zaki hanya menyeringai lebar, berbalik, lalu berjalan cepat setengah berlari menuju kantin.

**=========================**

Kamis lagi? Cepatnya waktu berlalu... saatnya update lanjutan kisah Trinity, Neo, Zaki.

Nah, kan? Trinity mulai dibikin bingung. Biasanya dicuekin, mendadak dua cowok sekaligus memperhatikan dia.

Kalau kamu, pilih mana? Neo atau Zaki? Dan apa alasannya? Terus, kamu ngebayangin Neo dan Zaki mirip siapa? Kalau Trinity, bayangin aja kamu yang jadi Trinity, hehehe. Kapan lagi diperhatikan dua cowok paling tenar di sekolah sekaligus. ;)

Dan ... apa benar hidup Trinity baik-baik saja? Gimana kalau ...

Ah, tunggu lanjutannya Senin besok yaaa...

Salam hangat,

Arumi

Listen To My Heartbeat [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang