Prolog

763 50 39
                                    



Aku menghela napas panjang, masih terpaku pada cermin kecil di hadapanku. Menatap sosok wanita yang tengah berdandan sekadarnya. Di belakangku terlihat laki-laki yang beberapa jam lagi akan menjadi suamiku. Dia menengok ke arahku, tatapan kami bertemu dalam pantulan cermin meja rias yang tersedia di ruang VVIP rumah sakit ini. Wajahnya pucat, namun ada binar kebahagiaan yang menghiasi tatapannya padaku. Tersenyum, mulutnya bergerak mengucapkan kata tanpa suara.

Kamu cantik.

Aku membalas dengan senyum termanis dan kembali menatap lurus ke cermin. Penata rias memintaku untuk memejamkan mata agar bisa memberikan riasan pada kelopaknya. Aku tidak menginginkan hal ini, tapi dia yang memaksaku untuk memanggil perias pengantin. Dia bilang, aku harus tampil seperti pengantin lainnya, agar sempurna bagiku. Dan aku pun tak ingin mengecewakannya, dengan syarat hanya riasan sederhana. Ketika kembali membuka mata, kulihat dirinya telah siap dengan baju pasien dipadu peci putih agar terlihat sempurna. Seorang perawat menghampiri untuk memperbaiki letak selang oksigen di hidung dan membantu dirinya bersandar pada ranjang rumah sakit yang telah dibuat setengah duduk agar ia nyaman.

Untuk beberapa saat ke depan, aku berkutat dengan sanggul rambut setelah riasan wajah selesai. Aku meminta agar rambutku dibuat cepol saja, tanpa hiasan bunga atau ornamen laiknya seorang pengantin. Hanya mengenakan selendang putih yang menutupi kepalaku nanti.

Aku kembali melihatnya tengah terpejam sekarang. Bibirnya bergerak seperti mengumamkan sesuatu. Entah ia sedang menghafal ijab kabul atau bernyanyi untuk menghilangkan kegugupan yang terpancar di wajahnya. Tak dapat dipungkiri, aku pun merasakan gugup saat ini. Di kamar ini hanya ada kami berdua beserta penata rias dan seorang suster yang membantu mempersiapkan segalanya. Tata ruang pun telah diubah sedemikian rupa untuk mendukung acara nanti. Beberapa bangku tamu sudah dipindahkan ke sekeliling ranjang.

Penata rias telah selesai menata rambutku membentuk sanggul sederhana, tinggal menyematkan selendang putih di kepalaku. Semakin waktu bergulir mendekati menit-menitku menjadi seorang istri, semakin hatiku merasa gelisah. Berkali-kali aku meyakinkan diriku bahwa ini adalah jalan yang telah aku pilih. Kebahagiaan yang akan aku raih bersamanya. Kehidupan rumah tangga yang akan aku jalani dalam suka dan duka bersama. Saling melengkapi. Karena setelah ini tidak ada "aku" dan "kamu". Hanya ada "kita".

Ya ... aku bisa dan yakin. Semua untuknya. Untuk senyumannya. Untuk semangat dan kesembuhannya.

Kupejamkan mata dan menghela nafas berulang. Dan ya ... aku sangat yakin.

Aku berdiri setelah semuanya rapi. Menghampiri dia yang tengah menungguku dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajah pucatnya. Dia tampak tampan walau hanya dalam balutan pakaian pasien. Kabel penghubung alat monitor vital di tubuhnya tertutupi oleh pakaiannya. Dia mengulurkan tangan yang langsung kusambut dengan genggaman tanganku. Saling menghangatkan satu sama lain. Aku duduk di kursi yang telah disiapkan di samping ranjang. Dia masih menggenggam tanganku dan membawa ke bibirnya. Mengecup punggung tanganku. Terasa hangat sekaligus dingin saat bibirnya menyentuh kulitku.

"Bibir kamu dingin. Kamu nggak apa-apa? Atau mau aku panggilin dokter dulu?" tanyaku saat dia menurunkan tanganku kepangkuannya.

Dia menggeleng lemah, "Aku nggak apa-apa, cuma gugup aja. Nggak nyangka bisa menikahi bidadari seperti kamu," ucapnya menggombal, terdengar lemah.

Pipiku terasa hangat saat suara beratnya mengucapkan gombalan klasik itu. Ada nada ketulusan di dalamnya yang membuatku semakin menyayanginya.

"Kamu nggak pantes gombal begitu. Bukan kamu banget," ucapku.

Dia tersenyum dan mengelus kepalaku seperti biasa.

Tak lama terdengar suara pintu terbuka. Papa,Ayah, dan Pak Penghulu telah datang. Mereka menghampiri kami dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Tepat saat penata rias dan perawat yang membantu kami keluar, Mama, Darma dan Nania masuk ke dalam ruangan. Mama mendekatiku dan memberikan sebuah kotak beludru berwarna merah yang berisi cincin pernikahan.

TENTANG DIAWhere stories live. Discover now