BAB 5. Dia itu Rasa yang Hilang

142 11 21
                                    


"Aluna, bangun. Sudah siang."

Suara Mama terdengar, mengusik tidur lelapku. Aku menyembunyikan wajahku ke bantal saat Mama membukai tirai jendela kamar.

"Sebentar lagi, Ma. Aluna masih ngantuk." Aku menarik selimut dan menutupi kepalaku hingga seluruh tubuhku tenggelam di dalamnya.

"Kamu tuh ya kalo lagi libur bukannya bangun pagi, olahraga gitu atau temenin Mama ke pasar. Biar belajar jadi perempuan belanja ke pasar. Trus bantu Mama masak," omel Mama sambil menarik selimutku.

Aku menggeram malas, Mama paling bisa merusak pagi tenangku. "Nanti Aluna ke bawah, Ma. Lima belas menit lagi ya, Ma. Nanti Aluna bantuin Mama masak deh. Masak air tapinya," gumamku pelan kembali menarik selimut.

"Kamu tuh ya, Lun. Udah buruan bangun! Mama tunggu di bawah," seru Mama sambil berjalan keluar kamar dan menutup pintu.

"Hmm..."

Aku kembali memejamkan mata. Mencoba memasuki alam mimpi yang tenang setelah semalaman aku tidak bisa tidur nyenyak karena memikirkan permintaan Mas Arya. Sudah tiga hari Mas Arya tidak menghubungiku. Telepon dan pesanku pun tidak dibalasnya. Padahal beberapa kali aku mengirim chat mesra padanya, tapi sama sekali tidak direspon olehnya. Padahal biasanya kalau dia sedang ngambek masih mau membalas pesan dariku. Sepertinya Mas Arya benar-benar memberi waktu untuk berpikir.

Suara pintu terbuka menyadarkanku dari pikiran tentang Mas Arya. Mama sepertinya tidak sabar menungguku di bawah. Belum lima belas menit, dia sudah kembali ke sini dan menarik selimutku lagi.

"Ma, kan Aluna bilang lima belas menit lagi. Belum ada semenit," ucapku dari balik selimut yang masih menutupi kepalaku dan menahan selimut yang sedang ditariknya.

Mama berhenti menarik selimutku, membuatku lega dan tersenyum menang. Tak lama aku merasakan Mama menaiki ranjangku dan berbaring di sebelahku. Samar-samar aku mencium aroma cokelat. Spontan aku membuka selimut yang menutupi kepalaku dan menoleh ke samping. Kulihat Dhika dengan santai telentang di sebelahku. Kedua tangannya tersilang di atas kepala sebagai penyangga pengganti bantal. Dia menoleh ke arahku hingga kedua manik mata kami bertemu. Sudut bibirnya terangkat sempurna, menyimpulkan senyum jahilnya pagi ini.

Aku melotot seketika dan terbangun duduk di atas ranjang. "Ngapain kamu ke sini pagi-pagi buta?" tegurku tak suka melihat tingkah tengilnya itu.

"Bangunin Putri Malas yang jam segini masih aja tidur," jawabnya santai.

"Gangguin aja sih, Ka. Masih ngantuk tau. Udah sana ah, sempit nih." Aku mendorong tubuhnya ke pinggir ranjang. Namun Dhika dengan gesit malah menarik tanganku hingga aku berada dalam rangkulannya. Dia memelukku kencang seraya meletakkan kepalaku dalam dekapannya, hingga aku bisa mendengar dengan jelas suara jantungnya yang sedang berdetak kencang.

"Dhika, apa-apan sih. Lepasin nggak?!" gertakku yang dibalasnya dengan tawa.

"Dulu kamu suka aku bangunin sambil dipeluk kayak gini, Al," candanya.

"Itu kan duluuu... ih lepasin, Ka. Pengap ini. Aku gelitikin ya kalau nggak dilepasin," ancamku sekali lagi.

Dia tetap tertawa dan semakin mempererat dekapannya. Aku menggerakkan jemariku di pinggangnya. Awalnya dia masih bertahan tidak melepaskanku, tapi perlahan pelukannya mengendur dan melepaskanku. Kemudian dia malah ikutan mengelitikku. Aku paling tidak tahan digelitiki seperti ini mencoba untuk kabur. Namun naas Dhika berhasil menangkap tubuhku. Kami berdua tertawa bersama masih saling membalas, tidak ada yang mau berhenti terlebih dahulu. Hingga tiba-tiba Dhika batuk sembari memegang dadanya. Aku menghentikan candaku saat melihat mukanya semakin memerah saat menahan batuk yang semakin kencang.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 07, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

TENTANG DIAWhere stories live. Discover now