BAB 3 . Dia itu Pesona

189 21 26
                                    


Aku melepaskan pelukanku, kembali menatapnya. Wajah sayu dengan mata cekung, hidung mancung, dan lesung pipi yang kini tersungging karena senyumnya. Akhirnya kembali, teman masa kecilku, sahabatku dan ....

"Senang bertemu kembali denganmu, Al," ucapnya.

Aku memukul pelan bahunya, "Jahat!! Kenapa baru kembali sekarang. Nggak pernah kasih kabar. Ngilang gitu aja. Udah nggak anggap aku sahabat lagi, hah? Aku selalu nyari tahu kabarmu melalui Ayah. Namun jawabannya selalu kamu baik-baik saja. Memangnya di sana nggak ada telepon, email, atau apapun itu. Jahat ... jahat!!" Aku terus memukul bahunya pelan meluapkan emosi yang tak sanggup lagi kutahan hingga bulir bening mengalir di pipiku. Entah itu tangisan bahagia atau terluka.

"Hei ... hei, Al. Ah ... auw... sakit." Dia mencekal kedua tanganku, menahan untuk tidak kembali memukulnya. "Tega banget. Aku baru sampai udah kamu pukulin kayak gini." Dia merengkuhku kembali dalam pelukannya. Aku menangis di dadanya, menumpahkan rasa sesak karena kehadirannya kembali setelah sekian lama membuatku cemas setengah mati. Dia hanya diam dan memelukku.

"Maaf," ucapnya lirih.

Aku menggeleng. "Maaf saja nggak cukup. Kamu harus membayarnya nanti. Lihat saja hukuman apa yang akan aku berikan ke kamu," ancamku dengan terisak..

"Nggak nyangka Aluna yang sekarang jadi cengeng begini. Udah nggak tomboy lagi ya," ledeknya yang langsung kubalas dengan cubitan pada perutnya.

Dia melepaskanku lalu menunduk, mengusap perutnya sambil meringis kesakitan. "Auww... ternyata masih galak dan sadis seperti biasanya."

"Bodo!!" geramku langsung melipat kedua lengan di dada.

Dia menegakkan tubuhnya dan menatapku dalam. "Ok. Aluna, sahabat kecilku. Maukah kamu memaafkan aku yang bodoh ini?" pintanya dengan menangkupkan kedua tangan di dada disertai senyum andalannya yang membuatku geli dan tak sanggup menahan tawa.

"Yes ... berarti aku dimaafkan! Mudah sekali," ucapnya lagi menyombongkan diri. Kami pun tertawa bersama. Tiba-tiba aku tersadar bahwa tadi sedang bersama Mas Arya.

"Ya ampun, Mas Arya!" pekikku sembari menepuk kening kemudian berbalik untuk melihat Mas Arya yang tadinya berada di depan gerbang rumahku. Tetapi Mas Arya sudah tidak berada di situ dan pintu pagarku telah terbuka. Mas Arya pasti langsung masuk ke dalam.

"Siapa Mas Arya?" tanyanya yang kini berada di sampingku dengan tangan merangkul bahuku.

"Nanti aku kenalin, ayo masuk ke dalam. Papa dan Mama pasti senang melihat kedatanganmu." Aku menarik tangannya sehingga dia mengikutiku dengan lengan bebasnya menarik koper besar miliknya.

Sesampainya di dalam rumah, aku melihat Mas Arya tengah berbincang dengan Ayah. Keduanya menghentikan obrolan dan mengalihkan pandangannya kepada kami saat berada di ambang pintu. Raut wajah Papa terkejut, sedangkan Mas Arya melihat kami dengan pandangan yang sulit diartikan olehku. Raut penasaran, bingung dan juga cemburu. Menatapku dengan pandangan meminta penjelasan 'siapa dia?'. Dan aku lupa bahwa kekasihku ini tipe pencemburu berat.

Mama muncul dari dapur dengan membawa nampan minuman untuk Papa dan Mas Arya. Mama melewati kami begitu saja. Mungkin Mama tidak menyadari keberadaan kami, hingga suara panggilan yang pasti akan mengusik dirinya.

"Ibu!" Suara berat itu memanggil Mama yang langsung menoleh. Untuk sesaat Mama terpaku diam melihat ke arah kami. Mungkin terlalu terkejut karena hanya satu orang yang memanggil Mama dengan sebutan ibu.

"Dhika!" pekik Mama yang langsung meletakkan nampan di meja tamu lalu berhambur ke dalam pelukan Dhika. "Ya Allah, Dhika. Kamu sehat, Nak? Ya Allah ... kamu kemana aja?? Kenapa nggak pernah kasih kabar ke ibu atau Aluna??" Rentetan pertanyaan dari Mama yang sedang memeluk dan mengelus punggung laki-laki itu seperti pertemuan antara ibu dan anak yang telah lama berpisah. Ya, Mama memang menyayangi Dhika seperti anaknya sendiri, sama seperti aku dan adikku.

TENTANG DIAWhere stories live. Discover now