Bab 1. Dia yang Datang

548 35 37
                                    


Berjalanlah tanpa melihat kembali ke belakang. Jika kau masih terus terpaku pada jejak yang kau tinggalkan, maka yakinlah dirimu tak akan pernah lepas dari bayang masa lalu.

~ Aluna ~

Aku kembali mematut diri pada cermin di depanku,meneliti penampilanku sekali lagi sebelum bergegas ke sekolah. Blazer biru dongker dipadu dengan celana panjang warna senada seragam hari Senin. Sebagai pemanis, kusematkan sebuah bros perak dengan hiasan batu berwarna-warni disekelilingnya, tepat di kerah sebelah kiri. Setelah dirasa semua sudah sempurna, aku mengambil tas ransel hitam yang berisi buku, dompet dan laptop. Sedikit tergesa saat melihat jarum jam telah menunjukan pukul enam pagi.

I hate Monday.

Ya, aku sampai lupa kalau hari Senin lalu lintas kota pasti sangat padat. Kusambar kunci motor yang tergantung di samping kusen pintu kamar. Bergegas keluar sembari memakai sepatu pantofel hitam yang ... damn-aku lupa menyemirnya-terlihat sedikit kusam. Oke, sepertinya ini Senin terburukku bulan ini.

Setelah mengunci pintu, aku berlari menuju Si Hitam Manis. Motor kesayangan yang selalu setia menemani perjalananku setiap hari. Tanpa buang waktu, aku memakai helm dan menstarternya.

Baru saja aku keluar gang rumah, suguhan lalu lintas nan padat merayap sudah tersaji di depan mata. Membuatku kembali merutuki nasib.. Seandainya aku tadi berangkat lebih pagi, pasti akan terhindar dari kemacetan panjang ini.

Mataku mulai mengedarkan pandangan. Mencari celah sesempit apapun yang bisa dilewati agar segera sampai di tempat tujuan. Walau harus mengambil jalur di sebelah kiri di luar aspal jalanan, aku tetap nekat melewatinya. Kulajukan motorku dengan lincah agar segera terlepas dari jalur "setan" ini. Dan kegigihanku membuahkan hasil. Akhirnya aku bisa melewati kemacetan itu dan melajukan motorku dengan kencang.

Sesampainya di sekolah, pintu gerbang sudah hampir tertutup. Aku menekan klakson motor agar Pak Yadi-satpam sekolah-mengurungkan niatnya untuk menutup gerbang. Untunglah dia menyadari kedatanganku.

"Makasih ... Pak!" teriakku dari balik helm sambil berlalu.

Tanpa membuang waktu, aku segera masuk ke garasi sekolah dan memarkirkan motor. Setelah merapikan rambut dan wajahku melalui kaca spion motor, dengan langkah terburu-buru aku memasuki ruang guru dan meletakkan tas serta kunci motor di atas meja kerjaku. Dan, ah ... aku lupa mengisi absen. Kutinggalkan segera barang-barangku lalu menempelkan ibu jariku pada mesin absen di samping pintu kemudian bergegas ke lapangan tempat upacara bendera akan segera dilaksanakan.

Semua guru telah berdiri, berjajar rapi di hadapan para murid yang kini sudah membentuk barisan per kelas. Aku menyelinap di samping Nania-teman sejawatku sekaligus sahabat sejak kuliah-yang kini tengah melirik ke arahku.

"Telat lagi!"

Aku hanya meringis mendengar teguran halusnya,dan tersenyum malu sambil menundukkan kepala kepada beberapa orang guru yang juga melihat ke arahku. "Macet, Nan," bisikku di telinganya.

"Ya kale Jakarta nggak pernah macet? Nunggu lebaran dulu baru lengang tuh jalanan. Klise banget alasannya. By the way, udah berapa lama tuh sepatu nggak dicuci?" tanyanya berbisik saat melihat sepatuku yang kusam.

"Hehehe ... lupa. Kemarin pulang ke Bogor. Semalam sampai kontrakan udah kemalaman. Tepar deh sampai nggak inget apa-apa lagi. Nah tadi pagi, aku juga nggak sempet."

Nania memutar matanya saat aku menjelaskan kronologi sepatu kusam sialan ini.

"Alasan aja. Emang dasarnya aja males," sahut Nania menyunggingkan senyum mengejek.

TENTANG DIAWhere stories live. Discover now