Bab 4. Dia itu Pilihan

148 12 14
                                    


Aku merebahkan diri di kasur di dalam kamar. Meraba-rabaremote AC yang kulempar sembarang tadi pagi di atas kasur. Aku pun menemukannya tepat di sela-sela kasur dan dinding kamar. Aku menyalakannya pada suhu terendah untuk menghalau hawa panas setelah tadi menerjang teriknya jalanan ibukota. Aku memijat pelipisku perlahan, mengurangi penat yang menyerang saat ini. Suara pesan masuk di ponselku terdengar. Aku duduk di atas tempat tidur dan membuka pesan tersebut.

Mas Arya : Nanti malam masak yang enak ya. Aku mau mampir buat makan malam bareng kamu. Calon Istriku.

Aku tertawa kecil membaca pesannya. Jemari lentikku langsung mengetik pesan balasan padanya,

Aluna : Oke Mas calon suami.

Aku lalu meletakan ponselku di atas nakas dan kembali berbaring. Udara dingin dari AC kamar mulai menerpa tubuh, membuatku sedikit merasa lebih rileks. Lambat laun mataku terasa berat dan menutup. Namun baru saja akan menapaki alam mimpi, ponselku berbunyi. Membuatku menggerutu seketika karena merasa ditarik paksa dari zona nyaman. Nomor baru yang tak kukenal muncul di layar. Bimbang antara ingin menjawab atau tidak, aku lebih memilih untuk menjawabnya. Mungkin saja ini telepon penting dari seseorang. Aku pun mengangkatnya.

"Assalamualaikum, Al," sapa seseorang dari seberang sana.

"Wa'alaikumsalam." Aku menjawab sambil tersenyum. Hanya satu orang yang selalu memanggilku Al, siapa lagi kalau bukan Dhika.

"Sore ini sibuk nggak?" tanyanya.

"Nggak. Baru sampai rumah lima belas menit yang lalu dan lagi tidur-tiduran aja." Aku memindahkan ponsel ke telinga kananku sembari bangun duduk bersila. "Tadinya sih udah kepengan tidur, cuma tiba-tiba aja ada telepon masuk yang mengganggu rencana tidurku."

Aku mendengar kekehan dari seberang sana.

"Maaf, Al. Aku cuma pengen ajak kamu makan malam sekalian nemenin aku kontrol ke dokter sore ini. Bisa nggak kira-kira ? Ya ... sekalian jalan-jalan. Aku kan dah lama nggak muter-muter Jakarta."

Aku terdiam sebentar, menimbang ajakan Dhika. "Memangnya kamu di mana?" tanyaku.

"Aku udah jalan ke kontrakanmu. Tadi Ibu ngasih alamatnya."

"Kamu bawa mobil sendiri atau pake supir?" tanyaku lagi dengan sedikit nada khawatir,mengingat penyakitnya yang tidak memperbolehkan Dhika untuk terlalu lelah.

"Sama supir, ini aku udah di tol. Kamu share location dong. Aku takut nyasar. Ini supirnya masih baru juga di Jakarta. Baru datang kemarin dia."

"Ya udah, nanti aku kirim lokasi. Kalau gitu aku mandi dulu dan siap-siap."

"Dandan yang cantik ya, Al. Biar sedep dipandang," ucapnya sembari tertawa kecil.

"Rese kamu, bye."

Aku menutup teleponnya dan mengirim lokasi rumah ini. Aku turun dari tempat tidur kemudian menyambar handuk dan baju ganti, membawanya ke dalam kamar mandi.

******

Tak lama kemudian, suara klakson mobil dari luar terdengar saat aku sedang berdandan. Aku memulas tipis lipstik sewarna bibir lalu menghampiri jendela kamar dan membukanya sebagian. Aku melihat Dhika tengah berdiri di depan gerbang. Aku mengetuk kaca jendela dan melambaikan tangan padanya. Dengan gerakan bibir, aku memintanya untuk menunggu sebentar. Aku menyambar tas slempang di atas tempat tidur lalu bergegas ke luar menghampirinya. Seulas senyum cerah menyambut saat aku selesai mengunci pintu rumah. Aku berlari kecil ke arahnya sambil membuka pintu gerbang. Aku menggamit tangannya sembari tangan satuku menutup gerbang.

TENTANG DIAWhere stories live. Discover now