50. Babak Belur

1.4K 40 1
                                    

Nona baju biru itu hanya andalkan kelincahannya untuk bergerak kian kemari, menghindari serangan bertubi-tubi dari Tay Teng. Tetapi betapapun juga akhirnya dalam lima jurus saja, tubuhnya terasa makin kaku dan tak leluasa bergerak.

"Sute, jangan sampai binasakan jiwanya. Pentalkan pedangnya dan tangkaplah ia hidup-hidup!" berkata Tay Ih dengan berat.

Dengan pakaian berlumuran darah, Tay Teng tiba-tiba berseru membentak nona itu agar lepaskan senjatanya. Dan saat itu, hong-pian-jan telah menindih di atas batang pedang lawan.

Nona baju biru itu benar-benar sudah tak bertenaga lagi. Tindihan hong-pain-jan itu memaksa si nona harus lepaskan pedangnya.

Tay Teng maju selangkah dan menyusuli sebuah tendangan ke lutut. Tetapi nona itu masih dapat menggeliat dan balas menggempur dari sebelah kiri.

Sebenarnya gerakan nona itu tangkas sekali. Tetapi karena tenaganya sudah habis dan luka dalamnya kumat, gerakannya agak lamban dan sekalipun lututnya selamat tetapi pahanya termakan kaki si paderi. Nona itu berputar-putar lalu rubuh....

Tay Teng cepat memburu dan menutuk jalan darahnya. Ia menghela napas. Tiba-tiba ia sempoyongan ke belakang dan "bluk...."

Jatuhlah paderi itu ke tanah. Hong-pian-jannya menghantam karang.

Ternyata diapun terluka parah. Darahnya banyak keluar.

Sekalipun tenaganya sudah habis tetapi ia masih mengerahkan sisa tenaganya yang terakhir untuk mengirim tendangan. Maka setelah menutuk jalan darah nona itu, ia sendiri tidak dapat bertahan lagi!

Dalam pertempuran yang dahsyat itu, tiga jago sakti telah menderita luka parah. Walaupun tahu sutenya terluka, namun karena dirinya sendiri sedang mengatasi darahnya yang bergolak akibat lukanya, Tay Ih tidak sempat menolong Tay Teng.

Kini yang masih bertempur mati-matian hanya tinggal Siu-lam dengan si nona baju merah.

Saat itu mentari pagi mulai mengintip dari celah dinding langit timur.

Tay Teng dan si nona baju biru rebah di tanah. Tay Ih duduk bersandar pada dinding karang, menyalurkan pernapasan.

Siu-lam dan nona baju merah sudah bertempur hampir seratusan jurus. Namun masih belum ada yang kalah atau menang. Siu-lam mainkan golok kwat-to dalam ilmu pedang ajaran si kakek (kakek dari Hian-song). Walaupun ia belum mencapai kesempurnaan dalam latihannya, tetapi dapat menghadapi serangan-serangan maut dari lawan.

Memang selama pertempuran itu berlangsung, si nona selalu unggul. Tetapi pada saat Siu-lam terdesak dan tidak berdaya, ia segera mengeluarkan jurus istimewa ajaran si kakek.

Setiap kali jurus aneh itu keluar, si nona pasti terhalau mundur.

Di luar kesadaran, Siu-lam seperti mendapat pasangan untuk berlatih. Kini ia makin mengerti keindahan ilmu pedang ajaran kakek Tan itu.

Di samping itu, ia pun mulai merasa heran karena ilmu permainan nona itu ternyata sealiran dengan ilmu ajaran si kakek Tan. Berulang kali terjadi adegan di mana kedua senjata mereka saling berkelebat ke tempat kosong atau saling berbenturan secara tepat dan serasi sekali.

Sudah tentu nona baju merah itu terkejut juga. Siu-lam menginsyafi bahwa dengan bertempur seperti itu, tak akan ada yang kalah. Jelas sudah, bahwa sumber kepandaian mereka berdua, berasal dari satu rumpun.

Memang dalam hal tenaga dan kemahiran, si nona baju merah lebih unggul. Tetapi dalam variasi permainan, Siu-lam lebih menang. Terutama jurus Jiau-toh-cu-hua itu.

Tiap kali dimainkan lawan tentu terhalau mundur. Sayang Siu-lam hanya dapat mainkan dua jurus saja, seperti yang dapat diingatnya.

Maka pemuda itu berusaha untuk mengenang kembali jurus-jurus selanjutnya dari ajaran kakek Tan itu. Asal ia dapat memainkan barang satu jurus lagi saja, nona itu tentu dapat dikalahkan.

Wanita IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang