119. Lo Hian Muncul Kembali

2.9K 54 2
                                    

"Tak perduli Lo Hian itu bagaimana cerdas dan saktinya, tetapi ilmu kepandaiannya itu termasuk aliran sia-pay (Hitam), tak dapat di golongkan suatu sumber ajaran yang baik," kata Siu-lam.

Ucapan Siu-lam itu benar-benar mengejutkan Bwe Hong-swat. Nona itu tertegun heran lalu berseru, "Apa? kau tak tunduk padanya?"

Siu-lam menengadah dan tertawa keras. "Kecerdikan Lo Hian, tak dapat diukur berapa tingginya. Tetapi maaf, aku terpaksa tak dapat menghormatinya karena ia telah menciptakan ilmu ajaran jenis sia-pay itu!"

"Kata-katamu itu terlalu tak menghormati terhadap seorang locianpwe yang berbakat luar biasa. Sebaliknya hati-hatilah dengan perkataanmu!" kata si nona.

Siu-lam tertawa. "Jika mempunyai kesempatan berjumpa dengan Lo Hian, aku benar-benar hendak meminta pelajaran dari dia barang satu dua jurus."

Tiba-tiba Bwe Hong-swat teringat bagaimana aneh gerakan pemuda itu ketika menghindari pukulan Tio It-ping. Diam-diam nona itu menduga, kata-kata Siu-lam itu memang mempunyai dasar.

"Kau berkata dengan sungguh-sungguh?" ia menegas.

"Ya," sahut Siu-lam. "Mungkin aku bukan tandingan Lo Hian, Tetapi kalau aku hendak mencarinya dan mengadu kepandaian, kan bukan suatu hal yang melanggar kesopanan?"

Wajah Bwe Hong-swat agak berobah. Tiba-tiba ia membuka jalan darah Tio It-ping.

Rupanya Siu-lam sudah menyadari akan perobahan Bwe Hong-swat. Buru-buru ia menyusuli kata-katanya, "Oleh karena itu maka aku hendak menempur wanita Beng-gak itu dulu. Bagaimana hasilnya barulah nanti kita bicarakan lagi."

Dijamahnya Tio It-ping. Orang tua itu menghela napas dan memandang Siu-lam lekat-lekat. Beberapa saat kemudian ia berkata, "Apakah kau ini Pui-hiantit?"

Siu-lam girang sekali. "Benar, aku Pui Siu-lam. Harap paman Tio beristirahat dulu, aku masih mempunyai banyak hal yang hendak kubicarakan."

Tio It-ping berkilat-kilat memandang anak muda itu, katanya, "Ah, mengapa hiantit sampai di sini?"

"Panjang sekali ceritanya. Lebih baik paman beristirahat dulu, aku yang menjaga." Karena memang lelah sekali, Tio It-ping pun segera duduk bersemadhi memulangkan semangat.

Dalam pada itu Siu-lam terkejut ketika melihat Hong-swat lenyap lagi di balik batu. Ia hendak menariaki tetapi kuatir membikin kaget pamannya.

Kira-kira sepenanak nasi lamanya, Tio It-ping pun membuka matanya lagi dan menghela napas. "Hiantit, pakaianmu begitu ......"

"Banyak peristiwa yang kualami. Panjang sekali jika diceritakan. Yang penting sekarang aku hendak bertanya kepada paman!"

"Hal apa?"

"Apakah paman masih ingat keadaan pada waktu kita bertempur tadi?" tanya Siu-lam.

"Setengah ingat, setengah tidak," sahut It-ping.

Siu-lam mengeluarkan kelima jarum emas. "Karena dicabuti, jarum-jarum ini maka ingatan paman menjadi hilang dan lupa pada peristiwa lama ......"

Sambil mengawasi jarum-jarum itu, It-ping mengerut heran. "O, begitu?!"

Siu-lam segera menuturkan apa yang telah terjadi. It-ping menghela napas. "Jika hiantit tidak menolong, seumur hidup aku pasti akan menjadi budak wanita kuntilanak itu...."

Ia keliarkan pandang matanya ke sekeliling, tiba-tiba, "Hai, kemana nona Bwe tadi? Aku harus menghaturkan terima kasih kepadanya!"

Karena tak tahu pasti apakah Bwe Horg-Swat sudah pergi atau hanya bersembunyi, maka Siu-lam mengatakan bahwa nona itu pergi lebih dulu karena mempunyai lain urusan.

Wanita IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang