115. Perjumpaan Kembali

1.7K 44 0
                                    

Sambil menyingkap rambutnya yang agak kusut, Tong Bun-kwan langsung bertanya kepada Siu-lam, "Hendak kau tolong kedua sumoaymu itu?"

Siu-lam terbeliak, sahutnya, "Nona bicara dengan siapa?"

Tong Bun-kwan tertawa dingin, "Tak usah pura-pura! Jika engkau memang hendak menolong jiwa kedua sumoay itu, dengarkan perintahku!"

"Dimanakah mereka sekarang?" karena cemas memikirkan keselamatan Hian-song dan Cui Hui-ing, Siu-lam gugup.

Sambil keraskan tubuhnya, Tong Bun-kwan berkata, "Sejak saat ini engkau harus menurut perintahku. Tak boleh main gila. Jika diam-diam engkau gunakan ilmu menyusup suara memanggil kawan kawanmu, engkau mencari penyakit sendiri dan jangan harap kedua sumoaymu itu dapat hidup lagi!"

Sejenak merenung, berkatalah Siu-lam: "Bagaimana kalau aku bersedia menurut perintahmu?"

"Kutanggung keselamatan kedua sumoaymu! Tetapi ingatlah, jika berani main gila. Dengan kekuatan kami, tidaklah sukar menawanmu...."

Setelah berhenti sebentar, Siu-lam melanjutkan pula, "Namun aku tak ingin adu kekerasan. Hanya ketahuilah bahwa aku Pui Siu-lam bukan manusia yang temaha hidup dan takut mati!"

Tong Bun-kwan tersenyum, ujarnya, "Kapan kita berangkat, sekarang!"

Siu-lam mengiakan.

Walaupun Tong Bun-kwan berusaha keras untuk berlaku setenang mungkin, namun gerak-geriknya tetap tak terlepas dari mata Lam-koay dan Pak-koay.

"Hai, barang siapa yang kasak kusuk tentu membicarakan hal yang tak baik!" bentak Lam-koay.

Tetapi Pak-koay segera mencegah jangan terus buka suara.

Tong Bun-kwan pura-pura tak mendengar dan terus melangkah keluar. Sejenak meragu Siu-lam segera berbangkit, mengambil sarang tawon lalu mengikut dibelakang Tong Bun kwan.

Tong Bun-kwan berjalan cepat. Dijalan sering berpapasan dengan orang-orang persilatan yang menghunus senjata.

Siu-lam makin heran. Bukan tiada sebab jago-jago silat itu berkumpul di kota situ.

Tiba tiba dari sebelah muka tampak serombongan imam berjubah hitam berjalan mendatangi. Yang dimuka seorang imam tua berjenggot putih, diiringi oleh empat imam selengah tua. Menilik sinar mata imam-imam itu memancar tajam, tentulah mereka memiliki tenaga dalam yang tinggi.

Tong Bun-kwan menghindari pengawasan orang dengan cepatkan langkahnya. Sepanjang jalan Siu-lam melihat banyak jago-jago persilatan yang berdatangan. Wajah mereka tampak serius seperti sedang menghadapi urusan besar.

Tak berapa lama Tong Bun-kwan dan Siu-lam sudah melewati piatu kota. Saat itu matahari senja sedang menuruni pegunungan. Tong Bun-kwan membawa Siu-lam kesebuah tanah kuburan.

"Apa yang kau bawa itu?" tegur nona itu.

Siu-lam yakin bahwa kepandaiannya sekarang tentu dapat mengatasi Tong Bun-kwan. Ia tertawa tenang, "Sebaliknya nona memberitahukan dulu di mana tempat kedua sumoayku itu."

"Ya disini inilah!" kata Tong Bun-kwan seraya menunjuk makam dibawah pohon yang tinggi.

Sejenak Siu-lam memandang kesekeliling gunduk gunduk tanah kuburan yang menghias empat penjuru. satupun tak tampak rumah Orang. Heran ia dibuatnya. Apakah para pencelik itu berada didalam makam?

Maka bertanyalah ia kepada Tong Bun-kwan, "Sebelumnya kita sudah berjanji aku takkan memanggil bala bantuan tetapi nonapun tentu akan melaksanakan janji. Maka sukalah nona memberi kesempatan agar aku dapat melihat kedua sumoayku lebih dulu ......"

Wanita IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang