"Jika Siau-lim-si hendak menuntut balas, silahkan mencari aku. Nah, aku hendak pergi!" berputar tubuh, nona baju hitam itu segera lari.
Hui-ing yang menyaksikan pertempuran itu dari samping, segera lari menyusul kawannya. Karena kuatir mereka akan dicegat oleh paderi-paderi yang menjaga gereja, Siu-lam segera menyusul juga.
Setiap bertemu dengan rombongan paderi yang hendak menghadang, Siu-lam segera berseru meminta mereka agar memberi jalan kepada kedua nona itu.
Setiba di luar gereja, Hui-ing hentikan larinya. Tetapi ia tetap berdiri membelakangi Siu-lam. Tak mau ia berhadapan muka.
"Beberapa bulan tak berjumpa, suheng sungguh garang sekali. Kawanan paderi di sini mengindahkan kepadamu. Kiranya suheng tentu sudah menjadi murid Siau-lim-si yang berkedudukan tinggi!" serunya.
"Jangan salah paham, sumoay. Siau-heng sama sekali bukan murid Siau-lim-si!"
"Jika engkau benar-benar mau mencukur rambut menjadi paderi, alangkah bagusnya!"
"Mengapa?" Siu-lam terkesiap heran.
Hui-ing merasa agak kelepasan omong. Buru-buru ia berganti nada: "Ah, tak apa-apa. Kuanggap seorang yang berkelana di dunia persilatan tentu tiada bertempat tinggal yang menentu. Kiranya lebih baik mencukur rambut masuk gereja, menuntut kehidupan yang suci dan tenang!"
Siu-lam tertawa tawar. "Melewati hari-hari sedih di dalam goa, menyebabkan hati sumoay kosong dan menyelami soal kebatinan. Tapi siau-heng tetap tak dapat melupakan soal budi dan dendam. Kematian suhu dan subo yang mengenaskan, tiada sesaatpun kulupakan. Sebelum hutang darah itu terbalas, hatiku takkan tenteram."
Agaknya Hui-ing terpengaruh oleh ucapan Siu-lam. Ia menghela napas panjang: "Ah, aku berterima kasih sekali bahwa suheng tetap teringat akan sakit hati orang tuaku...."
Siu-lam tertawa panjang, serunya: "Guru dan murid adalah serupa dengan ayah dan anak. Terhadap musuh orang tua, kita tak dapat hidup di bawah kolong langit, itu sudah menjadi tugas kewajibanku, harap sumoay jangan...."
Tiba-tiba Hui-ing berputar diri. Merogoh ke dalam baju, ia mengeluarkan selembar sutera putih lalu dilemparkan kepada Siu-lam.
"Di atas sutera putih itu, telah kucatat tentang ilmu Chit-sing-tun-heng dengan jelas. Dan kuberi juga gambarnya. Dengan kecerdasan suheng, kiranya dalam tiga empat hari saja tentu sudah dapat memahami. Asal suheng mau meyakinkan dengan sungguh-sungguh, tentu dapat menggunakannya dengan hebat."
Siu-lam memungut sutera itu dan menghaturkan terima kasih.
"Tak usah terima kasih," kata Hui-ing, "malam ini kami telah melukai empat orang paderi, harap suheng suka menyelesaikan peristiwa itu!"
Siu-lam berjanji akan membereskannya.
Tiba-tiba Hui-ing bantingkan kakinya: "Harap suheng menjaga diri baik-baik, lain kali kita berjumpa lagi!"
"Nanti dulu!" buru-buru Siu-lam berseru ketika Hui-ing berputar diri hendak pergi.
"Apa yang suheng perlu katakan lagi?" tanya Hui-ing yang selalu tetap menutup muka nya dengan lengan baju.
"Kedatangan sumoay selain hendak mengetahui keadaan siau-heng, pun juga akan memberikan ajaran ilmu Chit-sing-tun-heng-tin, siau-heng...."
"Ah, jika engkau tak ingatkan, aku tentu lupa bahwa ilmu Chit-sing-tun-heng-tin itu adalah ilmu ciptaan Su Bo-tun yang paling dibanggakan. Maka setelah suheng dapat memahaminya, sebaiknya sutera putih itu dihancurkan saja agar jangan sampai jatuh ke lain orang!" kata Hui-ing.
Kata Siu-lam: "Siu-ciu-kiau-in Su Bo-tun sudah tunduk pada Beng-gak. Dia bakal menjadi salah seorang musuh kita yang tangguh."
Rupanya Hui-ing terkesiap mendengar tentang tokoh itu, serunya agak tergetar: "Entah benar atau tidak Su Bo-tun menggabung pada Beng-gak, tetapi ilmu ajaran itu tak boleh jatuh pada orang lain!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Iblis
FantasyWanita Iblis (Sip Siau Hong) bukanlah wanita yang jelek seperti hantu, bahkan adalah wanita yang sangat cantik. Jangankan laki-laki biasa, seorang tokoh agama yang sudah terlatih mengekang nafsu seks sekalipun tetap tidak mampu menahan kegoncangan h...