Prompt 3 - Due to the Dwelling Dew

1.3K 99 6
                                    

Tetes embun merupakan perguliran dinginnya udara menyublim menjadi molekul air yangterakumulasi membentuk noktah-noktah bening menjanjikan kesejukan di pagi yang dingin menusuk tulang. Semenjak pria itu merentangkan tangan mengisi paru-parunya dengan oksigen di kala seleret merah mentari di ufuk timur, ia sudah duduk di atas dahan mengintainya dengan manik mana kecokelatan laksana tanah di kala lembapnya hujan menyapa. Ia betah dengan basahnya ujung-ujung pipa celana dan kakinya yang menyapu embun, memecah noktah bergulir membasahi ranting hingga bersatu dengan humus di bawahnya.

Uap yang keluar dari belah bibirnya yang setengah terbuka melebur bersama semilir angin membawa harum bunga cosmos yang merekah cantik berwarna-warni berdampingan dengan lily of valley. Mengulas senyum demi menyaksikan otot punggung itu berkontraksi menghasilkan pergerakan kedua tungkai lengan berbentuk dengan bisep dan trisep yang menimbulkan laju juga ombak kecil serta percikan air yang menciprat ke mana-mana. Ia menahan napas melihat air membasahi kulit kecokelatan itu, menjalari otot-otot perutnya yang tercetak jelas dan tungkai kakinya yang kuat menendang mempercepat lajunya mengarungi panjang kolam.

"TaoTao?" sebuah suara membuatnya terkesiap, menarik napasnya yang sedikit terputus-putus menyaksikan indahnya pergerakan tungkai demi tungkai yang menciptakan pola tarian yang membuatnya tak dapat berkedip.

"Jinfu-ge!" Buru-buru ia melompat dari atas dahan pohon dan mendarat tepat di atas kedua kakinya dengan refleks seekor kucing. Rambut cokelat gelapnya menutupi mata dengan baur hitam di bawahnya hingga sebuah tangan menyingkirkannya dan membimbingnya ke dalam tanpa protesan yang berarti.

Siang itu pun lagi-lagi ia menemukan pemuda yang sekarang kulitnya sudah memancarkan sinar keemasan yang sehat tersebut bergelayut di atas dahan yang sama, memandangi kolam dikelilingi rumpun bunga lonceng yang merunduk tak berbunyi dibelai angin. Memegangi liontinnya dengan mata yang terpana, terpesona dengan ritme teratur antar lengan dan kaki yang mendorong tubuh tegap dan besar itu membelah air. Seakan pria di sana sudah menyatu dan menjadi air sebagai habitat keduanya.

Pemuda itu mengerling padanya sejenak, menggigit bibir bawahnya dengan rona merah mengisi pipinya. "Dia hebat sekali, keren," pujinya lagi-lagi dengan binar cantik di matanya.

Jinfu hanya bisa mengangguk dan membuka tangan membiarkan pemuda berpakaian abu-abu dan putih itu melompat ke dalam pelukannya sama seperti yang sudah-sudah. Ia tersenyum lembut mendengar celotehan pemuda yang lebih muda beberapa tahun darinya itu. Berjalan menyurusi jalan setapak seraya mengusap pundak yang terasa lebih empuk dan pinggang yang jauh lebih kecil hingga sanggup direngkuhnya dengan dua tangan besarnya.

Tao menyunggingkan senyum lebarnya, suaranya yang masih kental dengan logat Qingdao terdengar lucu ketika tak henti-hentinya bercerita mengenai pria yang saban kali dilihatnya tersebut. Pemuda itu melonjak senang ketika Jinfu menanggapinya dengan kata-kata manis-membuainya dengan puitisasi kehidupan yang nyatanya setawar roti yang dibuatnya pagi itu. Menggandengnya untuk menapaki jalan yang belum tentu sekedar lurus tanpa liku dan tikungan tajam, turunan terjal dan jurang di kanan-kiri menemani.

"Mungkin kau harus mencoba mengajaknya berbicara," sarannya pada suatu hari saat Tao bersenandung sembari membantunya memilah-milah buku yang menumpuk untuk disumbangkan.

Semburat merah itu mewarnai wajahnya yang tengah termangu pada tumpukan majalah yang sedang diikatnya. Ia menengadah setengah tak percaya. "B-benarkah? Tapi Jinfu-ge selalu mengatakan aku tak boleh terlalu dekat dengannya," tuturnya jujur dan bingung.

Pemuda yang lebih tua itu hanya merespon dengan kedikan bahu yang membuatnya kembali menatapnya lekat-lekat. "Kalau kau benar-benar penasaran, tak ada salahnya 'kan, aku akan menemanimu. Asalkan kau melakukannya saat matahari masih bersinar cerah," terangnya tenang mengepak buku yang sudah dipilah ke dalam kotak kardus.

PeachWhere stories live. Discover now