Prompt 11 - Pause

498 63 15
                                    

Jun berdeham pelan, melambaikan tangannya pada pemuda bermasker hitam yang tengah memandangi layar IPhone-nya. "Maaf lama, aku harus ke kantor dulu," ucapnya ketika mereka sudah masuk ke dalam mobil, dan Jun berada di balik kemudi, mengendarainya melewati jalanan yang cukup ramai di malam hari.

"Ini 'kan sudah jam delapan," ujarnya sedikit bingung, menurunkan maskernya sedikit untuk meneguk air mineral yang diberikan.

"Aku harus mengambil hadiah untuk Perry dulu," jelas Jun lagi membelokkan mobilnya ke kawasan jajaran apartment mewah di Shanghai.

Pemuda yang duduk di sampingnya itu hanya mengangguk maklum. Tentu saja, bagi Jun, Perry adalah salah satu prioritasnya, dan tak mungkin ia marah ketika salah satu temannya itu terlambat menjemputnya. Satu jam merupakan waktu yang cukup lama, terlebih dengan dirinya yang tak tenang takut tertangkap basah oleh penggemarnya atau salah satu media. Beruntung dirinya mengenakan hoodie dan masker untuk menutupi wajahnya, meninggalkan matanya yang tajam tepampang jelas. Ia juga memakai koper yang biasa ia pakai jika harus pergi ke China secara sembunyi-sembunyi seperti ini—meninggalkan koper, dan tas yang sudah dikenali sebagai miliknya di dorm.

"Kau dan Perry masih sering jalan-jalan?" tanyanya berbasa-basi sembari menaruh kembali botolnya ke dalam backpack-nya.

"Kemarin kami baru pulang dari Maldives, aku ingin mengajak Tao, tapi dia sibuk shooting," lanjutnya.

Pemuda itu mendengus. "Kalau kau mengajaknya, yang ada ia hanya menjadi roda ketiga yang diabaikan. Kasihan Tao," celetuknya membuat Jun menyunggingkan senyum tipis yang jarang sekali diulasnya.

"Makanya kau juga ikut," tukasnya tak mau kalah membuat pemuda itu terdiam, bergerak-gerak gelisah di kursinya.

"Mauku juga begitu, tapi itu tak semudah kelihatannya," sahutnya kikuk, ada rasa penyesalan di dalamnya. Bukan hanya rasa penyesalan, mungkin juga kerinduan yang sulit untuk disampaikan hanya melalui pesan, telpon bahkan sampai videocall.

"Aku mengerti," Jun mengangguk, memasuki pelataran parkir VIP. Ia pun membantu pemuda yang menjadi tamunya itu untuk menurunkan barang-barangnya kemudian membimbingnya ke lantai tiga puluh empat di mana apartment yang mereka tuju berada.

Menarik napas dalam, ia menyiapkan diri setelah Jun menggesekkan key card, dan menekan password untuk membuka pintunya. Tersenyum simpul, kakinya melangkah masuk mengikuti Jun, dan pemuda berambut cepak yang ia kenal kesulitan berbicara. Tangannya melambai pada Chen yang membalasnya dengan anggukan, menunjuk ke kamar paling ujung di mana ia tahu seseorang tengah terbaring di sana mengalami sakit kepala, dan kadar asam lambung yang naik.

"Tao?" panggilnya lembut setelah melepaskan masker juga hoodie-nya meletakkan koper, dan backpack-nya di sudut ruangan dekat lemari. Kamar yang didominasi warna putih, dan cokelat tua juga hitam, warna netral yang selalu berhasil memancarkan suasana rumah terutama dengan ranjang besar bersprei krem, dan cokelat muda di tengah ruangan. Ia mendekat ke tumpukan selimut yang membalut seorang pemuda dengan surai yang ia tahu kini dicat cokelat kemerahan di baliknya.

Gundukan selimut itu tetap tak bergeming, dan ada perasaan tak enak bersarang di perutnya. Menaiki ranjang yang luas tersebut, ia menarik selimutnya hingga menampakkan wajah pucat, dengan bibirnya yang berwarna kemerahan seakan habis menangis, tapi nyatanya hanya menjadi bantalan gigitannya. "Tao-ya," suaranya memelan, menunduk, ia mengecup dahi yang tertutup poni tersebut.

Perlahan matanya yang terpejam terbuka, netranya yang cokelat tua menatapnya, suaranya berujar lemah. "Hun-ah," ucapnya dengan mata yang tak fokus. Ia mengerang pelan sementara pemuda di depannya menahannya. Tubuhnya masih terasa lemas, dan kakinya tak kuasa bergerak bebas.

PeachWhere stories live. Discover now