Prompt 9 - Skip

506 55 25
                                    

Kala melodi ketukan kakinya diinterupsi oleh wajah cemas yang mencegatnya, pemuda itu terdiam, menatap orang di depannya dengan penuh tanya. Langkahnya yang panjang-panjang kembali tersambung menuju ruangan berukuran medium dengan seseorang yang mengucurkan peluh, membasahi wife-beater hitamnya hingga dua tingkat lebih gelap dari warna aslinya. Ia terpaku, memandangi sosok tersebut mengayunkan pedang panjangnya dengan cekatan, melakukan salto di udara.

Sosok yang lentur bagai kucing, dan terlihat terbang dengan sayap tak kasat mata dalam keanggunannya. Punggungnya tegak dengan tangan yang menghunuskan pedang, memutarnya dengan lincah selagi kakinya tak menapak, wajahnya melukiskan tekad, keberanian, dan kemantapan jiwa. Rambutnya yang dicat pirang terbawa lajunya angin, melambai tak menempel pada tengkuknya yang basah. Saat kakinya bermaksud menjejak, matanya melebar menyadari sesuatu yang salah.

"Argh!"

"Tao!" pemuda yang sedari tadi menontonnya dari ambang pintu langsung melesat ke arahnya. Ia berjongkok, di depan pemuda yang tengah mengerang kesakitan memegangi kakinya sendiri.

Telapak juga mata kakinya terasa nyeri. Menggigit bibirnya kencang-kencang, Tao tak menghiraukan cerauan pemuda yang tengah panik mengambil minyak oles untuk bagian yang membengkak, merah yang perlahan membiru, menambah warna baru di bekas-bekas lebam lamanya. Tangan yang lebih pucat darinya tersebut mengoleskan minyak di sana, meniupinya pelan hingga panasnya hilang sementara Tao menyangga tubuhnya dengan kedua tangan di belakang punggung. Sesekali meringis merasa sakit bagai tusukan seribu jarum juga himpitan batu besar merambatinya hingga ke tulang punggungnya yang terasa begitu kaku.

"Pelan-pelan," pintanya mengerang pelan, berusaha tak menunjukkan kelemahannya, membiarkan pedang panjangnya tergeletak lumayan jauh dari tempatnya berada.

Pemuda itu memandanginya. "Kau tak perlu memaksakan diri."

"Aku tak memaksakan diri, aku hanya kurang berhati-hati," tukasnya tak mau kalah. Sorot matanya tajam penuh keteguhan meski memar di lengannya baru saja muncul saat sesi latihan, dan badannya hampir ambruk kekurangan asupan nutrisi hari itu.

"Tao..." panggil pemuda itu lembut. Ia mencoba membantu Tao berdiri yang sempat enggan diterimanya. Perlahan membimbingnya menuju bangku panjang di pojok ruangan, bersandar dengan wajah pucat.

"Apa kau sudah makan?" Pemuda itu bertanya lagi.

Tao mengerling sekilas sebelum meminum air mineralnya dengan wajah datar. "Tentu saja sudah," sahutnya tak melihat ke arah temannya sedikit pun.

Pemuda itu merogoh tas selempangnya, mengeluarkan mantau yang sempat dibelinya. "Makanlah, ini berisi kacang merah kesukaanmu," titahnya menyodorkan bungkusan cokelat itu padanya.

Tao menerimanya, memandanginya selama lima detik sebelum berani membuka mulut. "Aku tidak lapar, Sehun." Ia mengembalikan kantong tersebut padanya. "Aku sudah makan, jangan memaksaku untuk makan lagi."

Sehun mengerjap. "Kapan kau makan?"

"Saat istirahat makan siang," jawabnya cepat.

"Apa yang kau makan?" sergahnya lagi.

"Tentu saja nasi dan sup ayam ditambah sebuah jeruk," jelasnya tanpa berkedip. Segelas susu, dan dua keping biskuit gandum sudah cukup untuk mengisi perutnya tadi. Mata Sehun menyipit memperhatikan Tao yang kini mengambil kaus bersih. Tanpa pikir panjang ia berjalan ke sudut ruangan dengan tirai pemisah, mengganti bajunya yang basah di sana, menghindari tatapan menelisik Sehun dari tubuhnya yang penuh memar juga lecet.

Sehun berjalan di sisi temannya yang tertatih. "Tunggu di sini, aku akan mengambil mobil," titahnya meninggalkan Tao di sisi taman. Mereka pun pulang dalam diam, larut dalam pikirannya masing-masing. Mantau yang berada di dalam tasnya telah mendingin.

PeachWhere stories live. Discover now