Prompt 4A - The Apocalyptic Apprehension

919 73 14
                                    

Jangan berjalan di bawah tangga, nanti kau akan tertimpa kesialan. Jangan memecahkan cermin di rumahmu, nanti kemalangan tak akan pernah meninggalkan jejak kehidupanmu. Jangan meniup suling di malam hari, nanti seseorang dari alam sana akan mengunjungimu. Jangan menaruh sandal terbalik, nanti cuaca akan memburuk dan kau tak akan bisa ke berpergian dengan tenang. Jangan bercermin di kala dini hari, nanti bayangan lain akan bertatap muka denganmu. Jangan membuka buku itu, nanti seseorang akan menjemputmu, menyimpannya dalam lembaran cerita.

Berjingkat menapaki koridor sepi dengan suara bisik tertahan di sekelilingnya, ia menjinjing backpack hitamnya ke halaman samping dengan wajah tegang. Tidak, ia belum mau mati sekarang, atau besok, atau nanti lusa atau bahkan minggu depan, dan tahun depan. Ia masih butuh waktu untuk menyelesaikan banyak hal, mewujudkan banyak keinginannya, dan keinginan pertamanya adalah ke luar dari tempat ini.

Menahan napas, tangannya yang licin berkeringat dingin membuka kunci dengan dua batang kawat tipis seperti yang pernah ia latih beberapa puluh kali sampai berhasil. Maka malam ini, terbukalah pintu kau tersebut disusul pintu besi lapis kedua yang membebaskannya menghirup udara malam yang dingin menusuk tulang membuatnya merapatkan jaket tebalnya. Ia yang tengah terengah berlari menuju dinding tinggi itu mulai memanjat dengan cekatan hingga berhasil sampai puncak, dan meloncat bebas menuju tumpukan semak-semak tebal yang menahan laju jatuhnya.

Remaja itu terus berjalan, berlari melintasi gelap malam dan gemerisik dedaunan yang mengiringi, cemas menghantui. Dirinya terus memaksa kakinya yang kelelahan itu untuk terus menapak, terus bergerak hingga menjauhi bangun besar tempatnya pernah tinggal tersebut, menghindar dari tangan demi tangan yang pernah membelainya dengan bisik, dan desau menjijikkan. Mencoba menenangkannya dengan sentuhan demi sentuhan yang meninggalkan jejak panas dan kotor di tubuhnya. Memberikannya berbagai pil berbagai warna dan rasa sebelum menciumi kulitnya dengan hangat yang gatal mengganggu—terkadang tajam jarum mencumbui lengan dan lehernya.

Menarik perahu kecil yang terikat di dermaga kecil, terombang-ambing tenangnya sungai lebar tersebut, ia mulai mendayung dengan wajah pucat pasi, membiarkan mulutnya mengeluarkan uap hangat. Mencoba menghirup oksigen sebanyak-banyaknya di atas sungai gelap dengan gelombang kecil menjilat-jilat sisi perahu kayu tersebut, boots-nya yang kotor terkena lumpur bercampur air mengotori sisi perahu yang didudukinya. Hingga ia akhirnya mengikuti arus yang membawanya makin menjauh dari sisi hutan yang sering menjadi tempatnya berjalan-jalan di kala senggang. Menoleh menyaksikan mansion itu makin tak terlihat sampai pada semak dan dahan juga rimbunnya pepohonan yang menutupi pandangannya, ia mengulas senyum penuh kelegaan.

Pagi itu ia mengerjapkan mata, terbangun dengan wajah waspada ketika perahu kecil yang ia naiki dengan tenang mengikuti aliran air hingga sampai pada pepohonan yang berwarna lebih cerah, daun-daun yang lebih tipis juga beri yang lebih ranum. Kicau burungnya pun terdengar lebih riang dengan bunyi serangga bersahutan di sekelilingnya. Bunyi derak pelan menandakan perahu itu telah merapat ke daratan. Ia pun duduk, memakai tas yang tadi malam ia jadikan bantalan kemudian turun dengan wajah penuh antisipasi, pisau pendek yang ia curi sudah berada di tangannya.

"Aku tak akan berani melakukan itu jika jadi dirimu," ucap sebuah suara yang tiba-tiba terdengar dari atas pohon membuatnya terkesiap dan mundur seketika untuk kembali ke perahunya.

Tapi sebuah tangan mencengkram lengannya erat, menariknya untuk menghadapnya. "Kau tak boleh pergi, kau tak punya tujuan lain," tuturnya.

Remaja itu memandangi makhluk dengan kulit seputih susu, dan alis yang menegaskan mata besarnya. Mata yang penuh kalkulasi, dan kecurigaan. "A-aku... aku tidak tahu," ia tergagap, berusaha menjauhkan diri dari wajah yang beberapa inchi lebih rendah darinya tersebut, perlahan memasukkan kembali pisaunya ke dalam sarung kulitnya.

PeachWhere stories live. Discover now