Prolog

14.2K 1.2K 82
                                    

Namjoon baru saja mengusir Jungkook. Dari tempatku duduk di sofa sayup-sayup ku dengar Jungkook mengiba, memelas pada Namjoon agar tidak di pecat.

Aku pun kasihan mendengar suaranya yang bergetar di antara suara tv yang membaur. Tapi mau bagaimana lagi, itulah konsekuensinya dari melanggar aturan kerja serta kedisiplinan.

Aku menoleh ke arah suara dimana Namjoon berdiri dengan Jungkook mengiba. Ku bayangkan tangan Namjoon terkibas di depan hidung Jungkook tanpa peduli rengekan remaja tanggung itu.

"Kamu itu selalu terlambat. Tidak kah kamu pikir, saya dan Yoongi hyung sangat membutuhkan orang-orang semacam kalian? Tapi apa? Merasa dibutuhkan jadi bisa semena-mena?" teriak Namjoon dengan suaranya yang berat.

Suara Jungkook makin memelas diiringi dengan janji-janji manis tak akan terlambat. Semuanya tetaplah janji. Jungkook akan melakukannya lagi di lain waktu.

Aku berdiri begitu telinga ku menangkap suara gebrakan meja. Namjoon pasti sangat marah. Aku harus menenangkannya. Bagaimana juga, aku adalah kakaknya. Jangan sampai Namjoon melakukan hal-hal yang mengundang masalah.

"Yoongi hyung mau kemana?" lenganku dipegang Hoseok. Suaranya terselip kunyahan keripik. Sepertinya ia tengah menonton tv dan mendengarkan perdebatan Namjoon-Jungkook dengan memakan keripik.

"Aku ingin ke kamar." Jujur saja, rengekan Jungkook benar-benar membuatku muak. Ditambah kepalaku yang pusing.

"Yoongi hyung!" tiba-tiba saja tanganku digenggam seseorang. Ku yakin Jungkook orangnya. Karena tanganku terasa basah oleh tetesan air yang hangat. Pastilah airmatanya. Ia memohon padaku, mencari pembelaan.

Aku tersenyum kecut mendengar isakannya. Jungkook memang asisten yang baik untuk ku. Ia rajin meski kadang-kadang suka mendumel di belakang Namjoon. Ia sering mengira jika aku tertidur dan tak mendengar semua omelannya. Hanya saja, ia tak pernah tepat waktu sedikitpun. Kecuali hari gajian.

Aku menghela nafas melepaskan tanganku dari pegangannya.

Di situ tangis Jungkook pecah. "Aku memecat mu dengan pesangon. Jadi cepatlah pergi."

Aku mendengar Namjoon menjeritkan nama satpam rumah, dan Jungkook mulai beranjak dari tempatnya.

"Nah, pergi juga kan dia." Sungut Namjoon.

Aku berjalan kembali ke sofa. Menyamankan dudukku. Memikirkan berapa kali lagi harus mengganti asisten?

Junior─ ia berhenti karena mendapatkan kerja tetap setelah ijazahnya keluar.

Jackson─ ia harus kembali ke Ilsan begitu mendengar ibunya meninggal. Mengurusi kebun dan adik-adiknya

Joshua─ ia tidak ingin meneruskan kontrak karena sudah mendapat pekerjaan yang lebih mengentengkan.

Dan terakhir, Jungkook─ ia di pecat karena tidak pernah tepat waktu.

Tunggu, kenapa semuanya berawalan J? ataukah kebetulan? Nampaknya Namjoon menyukai sesuatu yang berawalan huruf J.

"Lihatlah, aku jadi terlambat rapat karena mengurusi orang tidak taat waktu seperti dia. Aku bisa gila!" ku dengar langkah Namjoon mondar mandir di ruangan tv.

"Hoseok! Siapkan selembaran lowongan kerja untuk asisten. Kita harus cepat!"

Sulitkah mencari asisten untuk pemuda buta seperti ku?

Menjadi asisten saja sudah melelahkan apalagi asisten orang buta? Bukan kah itu berlipat capeknya?

"Dimana dasiku?!"

.

.

.

.

.

Aku tengah berjalan gontai menuju kos-kosan yang sudah seperti apartemen pribadi ini. Aku bukan anak orang kaya, tidak juga anak orang miskin. Aku suka kerja. Aku suka mencari uang. Dan aku sangat mencintai uang.

Di pinggir jalan tampak tertempel selembaran. Biasanya tidak ku hiraukan karena ku pikir pastilah sedot tinja atau jasa les privat. Tapi judulnya membuatku ngiler, 'lowongan kerja'. Aku tak butuh di sedot atau di privat. Aku butuh duit. Aku langsung mendekat.

Ku baca perbaris dengan perlahan tak mau terburu-buru. Ku resapi benar-benar kalimat yang tertera.

Gajinya besar, karena ku kira deretan angka itu adalah nomor telepon. Nyatanya itu adalah bayarannya. Gila! Dimana aku bisa mendapatkan pekerjaan seperti ini dengan gaji sebesar ini di kota besar jaman sekarang?

Aku menyobek lowongan kerja yang lain, berniat mengurangi pesaing.

Persyaratannya tidak berat. Hanya menghubungi nomor yang tertera. Aku jadi curiga, jangan-jangan ini penipuan? Ah, biarkan saja. Aku akan usaha dulu. Kalaupun pekerjaannya berat aku tinggal keluar saja.

Tidak perlu waktu lama untuk memikirkannya, aku langsung menghubungi nomor tersebut.

Seorang laki-laki menjanjikan bertemu nanti malam di sebuah restoran mewah yang sering ku datangi bersama teman-teman hangout kala malam minggu.tentu saja di traktir.

Aku memilih baju terbaik yang ku punya, kesan pertama sangat lah penting saat melamar pekerjaan.

Di sinilah aku sekarang, restoran yang sering digunakan untuk kalangan atas. Lampu pijar antik di beberapa sudut. Banyak orang asing singgah di sini. Ku rasa calon majikan ku sangatlah kaya raya.

Penataannya bagus dengan cahaya temaram menimbulkan kesan mesum atau romantis, ya aku tak begitu peduli tujuannya.

Seorang pelayan yang cantik lagi berbadan ramping menghampiriku. "Ada yang bisa saya bantu?"

"Ya, saya ingin bertemu dengan Min Namjoon." Pada telfon kemarin aku hanya perlu mengatakannya jika ada pelayan yang bertanya.

Pelayan itu tersenyum sebentar,

"Anda yang ingin melamar menjadi asisten Tuan Min Yoongi?" tanyanya dengan sopan dan ramah. Aku hanya mengangguk ragu. Sebenarnya aku pun tak tahu apa pekerjaan yang akan ku lamar. Ternyata menjadi asisten. Tapi seharusnya gaji menjadi asisten tidak sebesar itu, benar-benar orang kaya kelebihan uang.

"Mari ikuti saya."

Pelayan tersebut membawaku masuk ke sebuah lorong, Nampak ya itu adalah jalan menuju ruangan VIP. Di sini semua nuansanya di dominasi oleh warna putih, sangat berkelas dan megah. Benar-benar selera orang kaya. Sementara pelayan yang masih tersenyum itu membukakan salah satu pintu yang tampak paling keren di antara lainnya.

Aku mengabaikan senyum ramahnya. Di dalamnya sudah ada dua orang lelaki, yang satunya tersenyum dengan lesung pipi yang dalam. Sementara yang lainnya tampak diam tanpa ekspresi. Mungkin ia sesusia ku. Atau lebih muda.

"Kamu membawa surat lamaran kerjanya?" Tanya pemuda yang tadi tersenyum tanpa basa-basi. Bagaimana ya aku harus menjelaskannya? Ia tampak sangar, dengan suara berat yang di keluarkan nya. Namun senyumnya Nampak konyol.

"Ini." Ujar Ku menyerahkan surat lamar kerjaku. Beserta semua lampirannya.

"Pernah bekerja sebelumnya?"

"Belum."

"Pernah terlibat kasus kriminal?"

"Jika mencuri hati juga kriminalitas, Saya adalah kriminalitas yang berat."

Ku lihat ia melotot. Aku hanya berusaha nyengir, terbatuk kecil megambalikan suasana khidmat. "He, bercanda."

Ia menggelengkan kepalanya. "Nanti saya hubungi. Sekarang kamu boleh pergi."

Sudah? Segitu saja?

Aku sudah berdandan lebih dari satu jam dan wawancaranya begitu saja?

Setelah mengucapkan terima kasih aku berpamitan. Rasa-rasanya aku sudah gagal di awal. Aku tidak akan di terima bekerja.





Hutang baru lagi -________-

semoga suka :)

The EyesWhere stories live. Discover now