SEPULUH

17.4K 1.7K 162
                                    

Bunga mengadahkan kepala, Tangannya terangkat meminta petunjuk pada sang kuasa. Tubuhnya dibalut mukenah putih bersih. Hatinya akhir-akhir ini tidak bisa tenang.

Wajah sang nenek berkelebatan dalam memorinya. Dan rasa rindu itu kembali menyusup di hatinya. "Ya Allah ... berilah kelapangan dan pengampunan untuk mbah Bunga. Dan beri Bunga ketegaran atas segala ujian yang Engkau berikan pada Bunga. Amin ..." tangannya mengusap wajahnya sebagai tanda penutup doanya.

Zu menatap Bunga dari balik punggung gadis rapuh itu. Sampai sekarang dia tak menyangka betapa berat cobaan yang Allah berikan untuk sahabatnya itu. Diusia semuda itu Bunga harus memiliki seorang anak, hidup tanpa orang tua dan walau kehidupannya sesulit itu, tak pernah sekali pun Zu melihat Bunga lupa akan kewajibannya terhadap Allah. Mungkin beberapa orang lain akan memilih marah akan ketentuanNya, tapi dia selalu menganggap ini adalah ujian untuk semakin dekat dengan Sang Kuasa.

Dalam tangisnya Bunga masih bersyukur. Dalam senyumnya dia menyembunyikan derita. Dalam ketegarannya dia menyimpan kerapuhannya. Zu meneteskan air matanya, Zu tak pernah mengerti kenapa Bunga harus semenderita ini. Namun setiap Zu melihat Bunga, dia seakan melihat betapa sahabatnya itu disayangi oleh Allah.

Zu segera mengusap air matanya. Dia tak boleh melihatkan kesedihannya di depan Bunga.

"Bunga?" panggilnya.

Bunga menoleh lalu tersenyum lembut padanya. "Iya kak?"

"Bunga, boleh kakak tanya sesuatu?" ujar Zu seraya melangkah mendekati Bunga.

Bunga tersenyum seraya mengangguk.

"Apa kamu serius dengan ucapan kamu tadi siang?"

Bunga tersenyum tipis, "Entahlah kak, Bunga cuma ingin melihat bukti dari kesungguhannya. Apa pilihan Bunga ini salah menurut kakak?"

Zu membelai kepala Bunga sayang, dia menggeleng. "Tidak, kamu berhak menuntutnya. Segala perbuatan buruk memang harus mendapat ganjarannya."

Bunga terlihat lega dan sebuah senyum lembut terukir disana. "Sebenarnya Bunga sudah sangat lelah berurusan dengannya. Bunga ingin semua ini selesai kak."

"Kakak mengerti, kita lihat saja dulu apa dia akan benar-benar menyerahkan diri, atau tidak" ucap Zu.

Bunga mengangguk.

"Kak jika Bunga memilih memaafkannya dan menganggap semua ini sudah garisan yang Allah tuliskan buat Bunga apa pilihan itu juga benar?" Kedua tangan mereka saling menggenggam, "Bunga tak ingin memendam rasa dendam ini kak, Bunga takut malah Bunga sendiri yang akan jatuh dalam rasa ini. Bunga ingin mengikhlaskannya.

"Kamu memang naif, pilihan itu juga benar. Tapi memberinya hukuman bukan berarti kamu dendam padanya. Kamu memang harus melakukan ini, membuatnya benar-benar menebus dosanya sendiri. Memaafkannya begitu saja lalu menerima lamarannya suatu saat nanti itu terlalu mudah untuknya, ini bukan novel Bunga. Banyak luka yang telah ditorehkannya padamu, terlalu banyak."

Bunga menangis tertahan.

"Kamu manusia biasa Bunga,"

"Bunga takut kak, Bunga takut apa yang Bunga pilih ini adalah jalan yang penuh dendam. Suka atau tidak dia ayah anakku, Bunga takut suatu saat Alif sedih saat mengetahui semuanya. Saat dia tahu ayahnya dipenjara dia pasti bertanya alasannya. Bunga takut Alif akan merasa jijik pada dirinya sendiri, Bunga nggak mau Alif seperti itu." Tangisannya makin kencang.

"Sampai sejauh itu pikiranmu?" Zu langsung memeluk Bunga erat. "Kakak tidak tahu apa yang terjadi nanti, tapi yang kakak tahu Alif akan bangga punya ibu sepertimu."

Sejenak keduanya terdiam dan tenggelam dalam lautan pikiran masing-masing.

"Bunga, gimana kalau kita pulang ke desa saja." Ucap Zu memecah keheningan.

Little MotherWhere stories live. Discover now