16. Pemaksaan

19.5K 1.6K 104
                                    

Ashel kembali ke ruang depan setelah kegiatannya tersalurkan.  Pihak keluarga calon mempelai wanita memberikan barang-barang berupa makanan dan kue yang dikemas seindah mungkin dengan alas talam besar yang ditutup dengan plastik parcel dengan bantuan sentuhan tangan vendor yang ahli mengemas barang-barang pernikahan.

Jam setengah sepuluh malam acara baru selesai. 

Ashel baru saja turun dari mobil dan melambaikan tangan pada Tiara. Ia hanya perlu berjalan beberapa langkah saja untuk sampai ke rumahnya yang memang bersebelahan dengan rumah Reihan.

Ashel langsung mendorong pintu depan dan mendapati Naifa yang tengah duduk di sofa. Ashel tidak kaget dengan keberadaan Naifa di rumahnya sebelum tuannya pulang, Naifa sudah memberitahukan melalui chat kalau dia akan menginap di rumah Ashel karena katanya Jonathan ada lembur kerja malam itu dan akan pulang pagi. Dan Ashel memberitahukan kalau kunci rumah ada di bawah pot bunga teras, sehingga Naifa bisa masuk rumah tanpa harus menunggu tuannya pulang.

Ashel yakin Jonathan tidak sedang ada lemburan, tapi nongkrong di warung Pak Anton. Kenapa Ashel yang sesak setiap kali memikirkan nasib Naifa?

Ashel tersenyum melihat wajah mungil Naifa yang sedang asik menonton televisi.

"Belum tidur?" tanya Ashel sembari mendekati Naifa.

"Belum," jawab Naifa renyah sekali. Naifa benar-benar jago dalam urusan menyembunyikan kesedihan. Dia tetap terlihat tegar dan berbinar disaat batinnya hancur.

"Aku duluan, ngantuk. Capek banget. Nanti nyusul, ya!" Ashel langsung ke kamar. Ia duduk di depan cermin untuk menghapus riasannya. Tadi sore Tiara membawanya ke salon untuk merias wajahnya. Kata Tiara, para pengantar calon mempelai pria harus cantik. Dan hasilnya, Ashel pun terlihat sangat manis.

Ashel melirik ke arah tasnya saat mendengar nada ting dari ponsel di dalam tas menandakan ada chat masuk. Ashel sebenarnya malas membukanya, tapi mendengar nada yang sama hingga dua kali, akhirnya ia mengalah dan meraih ponsel dari dalam tas. Ada dua chat masuk yang membuat bibirnya tersenyum tanpa sadar. Ia salah jika mengabaikan chat tersebut, dari Fariz.

Assalamu'alaikum...
Udah tidur? Saya hanya ingin ngucapin good night.
Happy dreams...!!

Chat berikutnya, masih dari Fariz.

Bagaimana keputusannya?
Kalau kamu gk juga kasih keputusan,
Jangan salahkan saya jika besok pagi kamu melihat ada banyak mobil terparkir depan rumahmu.
Keluargaku datang buat ngelamar kamu. Bagaimana?

Chat itu ampuh membuat Ashel hampir gila dalam hitungan detik. Ia terbelalak memandangi tulisan di ponselnya. Matanya mengulang pandangan dan membaca seluruh pesan. Sekarang semakin jelas, bosnya itu memang sudah tidak waras. Bagaimana mungkin lelaki itu akan datang rame-rame ke rumahnya secara tiba-tiba untuk melamarnya? Fariz ingin menikahinya atau mengancamnya, sih? Kenapa nada lamarannya penuh ancaman begitu?

Meski hati Ashel mengatakan Fariz gila, namun sisi hatinya yang lain berdesir dan mengakui kalau kegilaan Fariz membuatnya takluk. Ia memeluk ponsel dan melemparkan tubuh ke atas spring bed lalu berguling-guling aneh di ranjang luas itu.

"Ashel!" Naifa membuka pintu dan menyembul masuk kamar.

"Eh mm ya ya?" Ashel merapikan jilbab dan mendekati Naifa. Wajahnya terlihat malu-malu seakan-akan Naifa tahu kalau dia sedang jatuh cinta.

"Ada yang nyariin, tuh."

"Siapa?"

"Pak Fariz," terang Naifa kemudian pergi.

"Hah?" Ashel terkejut dan lututnya terantuk kaki meja begitu mendengar nama Fariz disebut. Akibat memindahakan posisi kaki dengan gerakan asal-asalan, lutut jadi korban. Nama Fariz membuat tubuhnya terasa jadi ringan.

Setelah mengirim chat yang bunyinya aneh, sekarang Fariz datang ke rumah di jam yang tidak normal. Pria itu memang sudah tidak waras. Entah sudah berapa kali batin Ashel mengatakan Fariz tidak waras.

Bukannya keluar, Ashel malah bolak-balik kayak setrikaan, dia berjalan menuju pintu dan kemudian balik lagi ke arah meja rias. Lalu kembali ke pintu lagi. Begitu seterusnya. Dia sedang bingung harus bicara apa kepada Fariz?

Sungguh aneh, Ashel malah jadi gugup saat harus menemui pria yang dia cintai.

Ayolah, Shel. Tinggal bilang iya, apa susahnya?

"Shel, buruan! Ditungguin, tuh!" seru Naifa yang menongolkan kepalanya masuk ke kamar melalui pintu yang setengah terbuka.

Ashel mengikuti Naifa keluar kamar. Dengan degupan jantung yang berdentuman, dia kini menuju ke ruang tamu.

Fariz menatap Ashel yang berhenti di jarak sangat jauh darinya. Fariz melangkah mendekati Ashel dan Ashel menggeser badannya selangkah ke samping untuk menjauhi Fariz. Pria itu maju untuk mengikis jarak dan Ashel mundur selangkah.

"Kamu kenapa?" tanya Fariz akhirnya.

"Ehehee... kaki saya kesemutan," ceplosnya sekenanya. Ia salah tingkah menatap Fariz yang berdiri di jarak satu meter darinya. Ia menata perasaan. Pikirannya diserbu banyak pertanyaan, kenapa Fariz senekat ini? Apa yang akan dibicarakan Fariz di jam segenting ini? Apa masih mengenai ajakan nikah? Atau masalah tanah? Ia berusaha untuk tetap tenang. Tapi tetap saja ia gugup hingga akhirnya buku-buku jatuh berserakan di lantai setelah tersenggol. Tubuhnya benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Gemetaran terus hingga bergerak tidak tentu arah, senggol sana senggol sini.

Fariz sudah memungut buku-buku itu sebelum Ashel mengambilnya. Fariz meletakkannya ke tempat semula.

"Ada apa, Pak?" Suaranya terdengar bergetar.

"Urusan tanah bagaimana?"

Ternyata Fariz tidak membahas masalah nikah. Kenapa Ashel kecewa jadinya? Sebenarnya apa yang Fariz ucapkan tentang nikah itu benar atau hanya sekedar guyon?

"Bapak kan bisa tanya lewat telepon, kenapa harus menemui saya begini? Untung ada Naifa, kalau enggak kan buruk keliatannya karena Bapak bertamu di rumah seorang janda malem-malem gini dan kita hanya berdua."

"Karena aku tau Naifa di sini makanya aku ke sini."

"Dari mana Bapak tau Naifa disini?"

"Ada yang ngabarin ke saya."

"Bapak pasang mata-mata buat saya?"

Fariz memasang tatapan tajam. "Jangan banyak tanya kalau saya nggak suruh kamu bertanya."

Ashel mendengus dan langsung tutup mulut. Sudah maksa ngajak nikah, masih saja bersikap killer.

Naifa muncul dari dapur membawa segelas kopi hangat dan memberikannya pada tamu. Fariz langsung menyambar kopi tersebut dan meneguknya hanya beberapa kali tenggak tanpa menyisakan sedikit pun.

Haus apa rakus? Pikir Ashel bingung melihat tingkah aneh bosnya.

"To the point, kamu mau kan nikah sama saya?"

"Mm...?" Kegugupan kembali menyergap.

"Kalau enggak, saya akan seret kamu ke orang tua saya dan minta kamu untuk segera saya nikahi."

Ini mau ngelamar apa ngerampok, sih? Mengutarakan cinta tapi kok penuh ancaman begitu?

"Minumlah!" Fariz memberikan segelas air mineral yang dia sambar dari atas meja.

Ashel menggeleng. Dia yang tuan rumah, kenapa rasanya seperti jadi tamu sekarang?

"Air mineral bisa bikin kamu lebih rileks. Nggak kaku gitu, kayak es balok."

Fariz mulai lagi. Ashel ingin menjedotkan jidat Fariz ke dinding. Ya ampun, tega sekali dia. Ashel tersiksa merasakan debaran jantungnya.

Bersambung…

 
Jangan lupa tinggalin vote ….!!!!

MY BOSS IS MY LOVE (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang