26. Pesan Mertua

18.3K 1.6K 104
                                    

“Ashel, sekarang kamu sudah sah menjadi istri Fariz, putra sulung Mama.  Mama berharap kamu menjadi istri yang baik untuk Fariz.  Begitu juga sebaliknya, supaya Fariz juga menjadi suami yang baik buat Ashel.  Sejatinya pernikahan adalah ikatan lahir batin yang amat suci untuk membentuk keluarga.  Kalian sudah siap kan untuk membentuk keluarga?”

Entah kenapa Ashel merasa hatinya ditikam melihat tatapan mata Fatma, padahal tatapan itu tidak hanya ditujukan pada Ashel saja, tapi juga pada Fariz.

Sialnya, Fariz diam saja.  Tidak mau membantu Ashel untuk menjawab.  Padahal pertanyaan itu ditujukan untuk mereka berdua.  Haruskah Ashel seorang yang kebagian menjawab?

“Mmm... Itu...”  Ashel mendadak kehilangan kata-kata.  Apa begini rasanya menjadi mantu?  Perasaan gugup mendominasi saat berhadapan dengan mertua, apalagi Ashel sama sekali belum mengenal kedua mertuanya.  Dia bingung harus bagaimana bersikap.

“Kami nggak akan menikah jika belum siap, Ma.  Kesiapan menikah itu sudah ada sejak kami sama-sama berpikir untuk membangun rumah tangga,” jawab Fariz tenang.

Ashel lega.  Akhirnya Fariz bantu ngomong juga.  Tapi kenapa telat?  Apa dia juga mikir panjang untuk menjawab?

“Maaf sebelumnya ya Nak Ashel, soalnya selama ini Mama sama sekali belum pernah mengenal Ashel.  Secara tiba-tiba Fariz mengatakan akan menikahi seorang wanita yang sama sekali belum Mama kenal.  Dua minggu, ya hanya dua minggu waktu yang Fariz minta untuk mempersiapkan pernikahan ini.  Mama cukup kaget, karena selama ini tidak ada tanda-tanda Fariz dekat dengan perempuan dan tiba-tiba Fariz bilang akan menikah.”

Ashel menghela napas.  Apa maksud pembicaraan Mama Fatma?  Ashel masih agak bingung.

“Sebagai orang tua, Mama hanya ingin memberi pengertian pada kalian, bahwa pernikahan itu bukan hanya sekedar hubungan antara dua orang suami dan istri, tapi juga dua keluarga.  Dan yang paling terpenting, hubungan dengan Allah.  Jadi, jangan sampai perkenalan kalian yang baru singkat dan tiba-tiba dipertemukan dalam ikatan pernikahan ini membuat kalian saling menyakiti satu sama lain hanya karena tidak adanya pemahaman satu sama lain.  Ingat, kalian menikah karena Allah.  Dan Allah juga yang mempertemukan kalian dan menjadikan kalian dalam ikatan jodoh.  Bijaklah dalam bersikap.  Mama ingin kalian saling melengkapi satu sama lain.”

Ashel mengngguk.  Ah, sejak tadi dia mengangguk terus kayak bandul jam.  Sementara Fariz hanya diam.

“Kalian sudah sama-sama dewasa.  Pasti tau caranya memahami pasangan bukan?  Yang terpenting saling pengertian.  Itu saja,” imbuh Azril dengan suara bariton yang khas.  Hanya sekilas pria tengah baya itu menatap Ashel dan Fariz kemudian tatapannya kembali fokus ke layar kaca. 

“Ya sudah, ini sudah larut.  Kalian kembali ke kamar.  Mama nggak mau banyak bicara dan malah menghabiskan waktu malam pertama kalian.”  Fatma tersenyum.

Jantung Ashel kembali menggemuruh mendengar mertuanya menyebut malam pertama.  Kok rasanya jadi malu sekaligus gugup?

Ashel bangkit berdiri dan meninggalkan sofa sebelum mertuanya memergoki wajahnya yang memerah seperti kepiting rebus.  Sementara Fariz masih duduk diam di posisinya.  Ashel tidak perduli dengan apa yang dilakukan Fariz, dia langsung masuk kamar dan membanting tubuhnya ke atas ranjang.  Tidur dengan kepala yang masih dibungkus jilbab.  Dia tidak akan membuka jilbabnya sebelum Fariz yang membuka jilbab itu.  sebab jika jilbabnya dibuka, Fariz pasti akan langsung mengenal siapa dirinya.  Dia tidak mau memperlihatkan ke Fariz kalau dia adalah gadis SMA yang sering dipanggil dengan julukan Selokan.  Ashel takut Fariz akan ilfil padanya jika tahu kalau dia adalah gadis yang pernah menonjok muka Fariz.  Biarlah Fariz yang mengetahui dengan sendirinya tanpa harus Ashel yang menunjukkan. 

Raut wajah Ashel yang lebar mendadak jadi tirus saat sisi kedua pipinya ditutup jilbab, inilah yang membuat wajahnya saat berjilbab jauh berbeda dengan wajahnya yang tanpa jilbab, membuat teman-teman SMA-nya tidak mengenalinya yang kini telah berhijab, termasuk mungkin Fariz.

Satu jam berlalu.

Ashel belum juga bisa tidur meski matanya sudah terpejam sejak tadi, bahkan lampu juga sudah dimatikan.  Hanya tinggal lampu tidur saja yang menerangi.  Aneh, ada apa dengan pikirannya yang terus melayang-layang entah kemana hingga membuatnya kesulitan tidur.

Dan selama itu juga, Fariz belum masuk ke kamar.  Apakah pria itu tidak ingin mandi dan merasa tubuhnya tidak lengket oleh keringat?  Apakah pria itu tidak mengantuk dan ingin tidur?

Ashel tidak sempat menjawab pertanyaan di kepalanya karena menit berikutnya kantuknya menyerang dan dia pun tertidur pulas.

***

Ashel menggeliat.  Matanya terbuka sempurna saat sesuatu yang terang menerpa kelopak matanya.  Ashel mengangkat tangan menutupi wajahnya dari sinar matahari.

Bagaimana bisa sinar indah dari Yang Maha Kuasa itu masuk ke kamar?

Ashel mengulang pandangan ke jendela yang ternyata tirainya sudah dibuka.  Manik mata Ashel bergerak melirik Fariz yang berdiri di sisi bingkai jendela sambil memegangi tirai yang baru saja dia buka.

Fariz mengangkat alis menatap Ashel yang masih bergumul dengan selimut tebal.

Ashel mengucek mata salah tingkah. 

“Jam berapa ini?  Aku bangun kesiangan,” ucap Ashel sembari bangun dan duduk.

“Nggak usah cemas, kamu kuberi libur kerja selama seminggu.  Ini hari santaimu.”  Fariz berjalan menuju meja dan mengeluarkan ponsel dari laci. Dia terlihat sibuk mengetik sesuatu di ponselnya.  “Tapi bukan berarti kamu tidur sepanjang hari.  Pergilah mandi, setelah itu makan.  Jangan biarkan sarapan yang tersedia di meja makan dianggurin, Mama udah masak enak buatmu.  Jangan kecewakan dia.”  Fariz berbicara sambil menatap ponsel.

Ashel mengangguk.  Sekilas ia menatap penampilan Fariz yang sudah sangat rapi, mengenakan kemeja biru muda dan dasi warna senada.  Ashel tidak mau banyak tanya.  Ia turun dari ranjang  dan berjalan menuju kamar mandi.  Ia melepas jilbab dan menggantung di gantungan.  Lalu membasuh wajah di wastafel. 

Untuk beberapa detik ia menatap wajah yang terpantul di dalam cermin sambil berpikir.  Semalaman ia hampir tidak tahu apa yang terjadi dan apa yang dilakukan suaminya.  Ups, Ashel merasa geli menyebut Fariz sebagai suami.  Ia terlalu pulas tidur akibat letih dengan kegiatan pasca pesta pernikahan.  Bahkan shalat subuh pun dibangunkan oleh Fariz.  Pria itu pergi ke masjid untuk shalat berjamaah setelah membangunkan istrinya. 

Setelah itu, Ashel kembali tidur karena kantuknya sangat berat.  Ashel bahkan tidak tahu Fariz semalaman tidur dimana, apakah tidur di sisinya?  Atau... Ah, kenapa Ashel memikirkan itu?


Bersambung

MY BOSS IS MY LOVE (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang