Chapter 01

13.8K 715 36
                                    

    Dia selalu memamerkan aku pada teman-teman terdekatnya. Dengan senyuman penuh percaya diri, Vin akan selalu bilang pada semua orang bahwa dia mencintaiku. Dia mencintaiku tapi tidak sedang jatuh cinta padaku. Itu adalah perbedaan, katanya. Dan dia sama sekali tidak memedulikan bagaimana dia sudah menghancurkan hatiku berkeping-keping, dan terus menghancurkan tiap kepingnya dengan segala yang dilakukannya untukku dalam lingkaran persahabatan kami. Aku tak tahu apa dosaku di masa lalu hingga aku harus berada di posisi ini dengan Vincentio. Tolong beritahu aku saat kita sudah menemukan mesin waktu, aku akan kembali di masa lalu dan meminta diriku di masa lalu untuk berhenti melakukan hal tercela agar aku tidak mendapatkan masa-masa sulit ini.

"Seperti aku akan mendengarkan alasanmu saja, Vin! Aku akan bersiap-siap sekarang, dan kau akan berada di depan pintu rumahku setengah jam lagi."

Kami sudah berada dalam perdebatan kecil ini sejak beberapa menit lalu. Dan aku menikmatinya.

"Simca, ayolah. Berhenti bersikap kekanakan. Aku sudah bilang berkali-kali bahwa aku tidak bisa janji. Kau tahu, kali ini berbeda. Aku berjanji akan menggantinya lain waktu. Akan kutraktir kue tiramisu di restoran kue kesukaanmu. Ukuran 20x20!"

Sial, tawaran yang sangat menggiurkan. Jangan tunjukkan bahwa kau semurahan itu, Simca! Setidaknya ... yah, setidaknya buatlah Vincent membelikanmu ukuran 30x40. Aku memang tidak semurahan itu.

"Apa kita sudah beres, Simca?"

"Vincentio, kalau aku tidak mellihatmu di depan rumahku jam tujuh lebih lima menit nanti, kupastikan kau tidak akan masuk kantormu dalam keadaan baik-baik saja besok,"ucapku sembari melirik ke arah jam beker di atas meja riasku. Apa kau benar-benar berpikir aku bisa luluh hanya dengan kue? Kau melupakan minuman dengan topping dari gula aren yang sedang populer itu, Vin.

Setelah mendengar ultimatumku, suara Vincent tak terdengar lagi. Tak lama kemudian, kudengar helaan napas panjang yang sangat berat. Seperti suara seorang bapak-bapak tua yang menyesal telah menikah dengan perempuan cerewet yang selalu memasakkan racun untuknya setiap dia membuat sedikit kekaacuan. Aku menutup mata dan tak dapat menahan diriku untuk tidak tersenyum. Dalam anganku, tepat di sana, di mana Vin selalu muncul dalam benakku, aku bisa melihat bagaimana Vincentio menggaruk rambutnya dengan sebelah tangan. Bibirnya yang tipis itu akan terbuka dan desisan tipis akan keluar dari celahnya. Ya, tepat seperti itu. Kemudian suara helaan napas panjang lainnya sambil mendongakkan kepala dan sebelah tangannya akan masuk ke dalam saku. Suara napas yang sangat jantan. Secara harfiah. Suara favoritku.

"Ya, baiklah. Kau menang, Tuan Putri. Sampai jumpa nanti," katanya lalu mengakhiri sambungan telepon kami begitu saja.

Aku merebahkan diri di ranjangku, membayangkan ekspresi lain yang akan dipasang Vincentio berikutnya. Kerutan di alis pria itu saat dia sedang merasa jengkel, pun sangat menggemaskan. Vincentio mungkin sekarang sangat menyesal telah memberikan salinan kunci kantornya padaku. Kami memang sedekat itu. Katanya aku bisa menggunakan perpustakaan di kantornya untuk melarikan diri dari kekangan orang tuaku, yang mana sangat sering terjadi. Aku juga biasanya pergi ke sana untuk sejenak melepaskan penat seharian bergumul dengan darah. Ya, darah. Tolong jangan salah sangka, aku bukan pembunuh. Aku adalah seorang dokter, yang sedang menempuh pendidikan, dan siksaan neraka, untuk menjadi dokter spesialis kandungan.

Sudah hampir empat tahun lalu aku menjadi dokter jaga di sebuah rumah sakit kecil di pinggir kota. Bukan rumah sakit besar dengan pasien yang selalu datang seperti pemberitahuan dari Google. Namun, tetap saja, menjadi dokter koas sama sekali bukan hal mudah. Rasa lelah menumpuk hingga entah seberat apa di pundakku. Tapi setidaknya suara lembut Vincent sudah sedikit membuatku melayang ke surga. Baiklah, kuakui tidak sedikit.

Mr. Wolf (COMPLETED) Where stories live. Discover now