Chapter 02

8.7K 718 24
                                    

     "Ya, menangislah Simca sayang, kau barusan telah membunuh kakak perempuanmu."

"Tidak. Aku tidak melakukan hal yang buruk pada wanita itu."

"Kau benar, kau tidak melakukan sesuatu yang buruk, tapi kata-katamu yang membunuhnya."

"TIDAK!!"

Seperti terpental dari rebahanku, aku terbangun dari tidurku. Perasaan buruk campur aduk dalam kepalaku. Aku bisa merasakan napasku tersengal-sengal dan dadaku terasa begitu sesak. Keringat dingin memenuhi sekujur tubuhku hingga membasahi sprei di bawahku. Ingatan buruk itu datang lagi. Apa aku tidak meminum obat penenangku tadi sore? Semakin lama, semakin sulit bagiku untuk menghentikan tremor di jemariku. Aku mengepalkannya erat, menyimpannya di dadaku dan menunduk, menekan dadaku kuat-kuat. Berhenti berdebar-debar. Kumohon, rasanya sesak sekali.

'Apa kau merasakan sakit lagi, Simca?'

Ya. Tolong aku, kumohon.

'Baiklah, mari tutup matamu. Aku akan menggunakan sihirku untuk meringankan rasa sakitnya. Kau tidak boleh membuka mata, oke?'

Aku sangat merindukanmu. Sangat amat.

"Bianca ... Bianca ...."

Aku tahu, dengan hanya memanggil namanya berulang-ulang seperti itu, tidak akan membawanya kembali. Dia memang suka pergi ke sana kemari. Tapi ia sudah pergi terlalu jauh. Ke tempat yang sama sekali tidak bisa kuraih. Air mataku sudah jatuh bercucuran tanpa bisa kutahan lagi. Padahal aku segera menyekanya begitu mereka turun dari pelupuk mata, tapi air mata sialan yang keras kepala itu terus turun. Menyerah saja, aku menangis sejadi-jadinya. Apa salahnya memang menangis? Yang salah adalah jika aku menangis terlalu keras dan membuat kedua orang tuaku tahu apa yang sedang kulakukan. Itu akan jadi masalah yang berkelanjutan.

Oke, kau sudah besar, Simca. Jangan biarkan emosi menguasai dirimu lagi seperti yang sudah-sudah. Dengan teratur menarik dan menghela napas dalam posisi meringkuk seperti ini juga tidak efektif. Tapi aku belum ingin menunjukkan wajahku pada kaca di meja rias sialan yang menghadapku. Seseorang di pantulan kaca itu akan menertawakanku karena lagi-lagi menangis seperti ini. Baiklah, setelah ini aku akan minum obat penenang dan tidur. Lalu semuanya akan baik-baik saja. Kutundukkan kepalaku dan kutekuk kakiku hingga keduanya bertemu di depan dada. Aku ingin menggali lubang besar dan meringkuk bersembunyi di dalam sana sampai besok pagi. Ide yang sangat bagus. Jika memang reinkarnasi itu ada, aku ingin menjadi tikus tanah. Terbaik.

Tunggu. Rasanya ada yang kulewatkan.

Tiba-tiba pintuku terbuka dengan santai, tanpa diketuk. Aku sudah bermaksud untuk menyembunyikan diriku di bawah selimut sampai aku melihat siapa yang datang.

Vincentio yang Agung.

Oh, tidak. Aku sama sekali lupa aku sudah memaksanya untuk datang. Dia akan benar-benar membunuhku jika aku bilang padanya untuk pulang saja malam ini.

"Demi Tuhan, Simca ... apa yang terjadi padamu?" tanyanya sambil berjalan dengan cepat ke arahku. Ia meletakkan nampan berisi susu dan cemilan di meja tak jauh dari ranjangku, kemudian dengan wajah khawatir dan kerutan dahi yang dalam khasnya, Vincentio duduk di depanku dan mengusap air mataku cepat. "Beberapa menit lalu, kau tertidur seperti bayi yang sedang kekenyangan. Sekarang lihatlah dirimu. Padahal aku hanya pergi sebentar untuk mengambil susu."

"Setelah ini aku akan minum obat, aku tidak akan minum susu."

"Obat? Oh, tentu. Anti-depresan itu. Di mana kau menyimpannya? Aku akan ambilkan."

"Aku bilang setelah ini."

Vincentio mengamati mataku yang aku tahu, pasti terlihat seperti kue bolu yang baru saja matang. Kedua mata hitam legamnya itu tidak membiarkan aku melihat apa yang sedang dipikirkannya seperti biasa, tapi ia kelihatan khawatir. Aku ... cukup senang dengan perasaan itu. Meski itu hanya karena aku adalah sahabatnya saja.

Mr. Wolf (COMPLETED) Where stories live. Discover now