Chapter 03

7K 749 19
                                    

    Akhirnya, perjalanan kami malam itu dimulai. Vincent menyetir mobilnya tanpa bicara apa pun. Pria itu bahkan dia tidak melihatku lagi sampai detik ini. Aku pun tidak berusaha mengajaknya bicara. Aku tak tahu apa yang membuatnya merasa berhak untuk mengerutkan alis seperti itu setelah semua usahaku untuk berdandan cantik demi mendampinginya di pesta. Mungkin dia marah karena aku berdandan terlalu lama, tapi kalau begitu, aku juga berhak marah karena Vincentio sama sekali tidak bereaksi saat melihat penampilan terbaikku setelah aku menggunakan semua mekap dan outfit yang paling kubanggakan. Pria itu hanya sedikit membelalakkan mata saat melihatku turun dari tangga dengan balutan gaun pesta berwarna perpaduan krem dihiasi kain sutra rose gold dengan potongan melambai dari pundakku, jatuh hingga ke sekitar betis. Vincentio juga harusnya menyadari detail indah sepatuku yang menghiasi kakiku ini. Platform stiletto milik kakak perempuanku dulu. Vincentio juga pasti tidak tahu betapa pegalnya kedua tanganku menata rambutku sedemikian rupa hingga hampir setengah jam.

Aku berdandan dengan harapan aku bisa membuat rahangnya jatuh ke tanah dan mengelukan kedatanganku dengan puji-pujian. Malahan, yang kudapati adalah—lagi-lagi—wajah khawatir dan alis yang tertaut. Juga silent treatment yang menyenangkan. Luar biasa, Vincentio!

Kupikir, aku tidak perlu berlama-lama dalam situasi canggung di dalam mobil ini. Tapi ternyata, Vin menyetir cukup jauh. Aku tidak menduga ini akan menjadi perjalanan yang lebih jauh daripada yang kukira. Sudah lebih dari lima belas menit sejak keberangkatan kami dari Piacenza dan tidak ada tanda-tanda Vin akan berhenti dalam waktu dekat.

"Kita hampir sampai," ucap Vincentio dengan tenang tiba-tiba memecah keheningan di antara kami.

Dari rambu terakhir yang kubaca, kami sampai di kota kecil, Rivergaro. Kota yang sangat indah dan tentram. Aku tidak pernah tau ada perumahan mewah yang berada di pinggir kota ini, seakan perumahan ini dibuat oleh bangsa Romawi atau Celtic yang dulu pernah tinggal di sini dan diwariskan sebagai tempat peristirahatan para konglomerat untuk menjauhi bisingnya kota besar dengan kerumunan para karyawan mereka. Mulai dari tatanan taman-taman bermain hingga hiasan lampu akan membuatmu merasa memasuki area istana pangeran Adam, pangeran beast dalam Beauty and The Beast itu.

Well, bisa kita bayangkan aku adalah Belle dan ... oh! Ceritanya memiliki plot twist yang baru. Pangeran Adam sedang menyetiriku ke istana. Kumohon, Tuhan! Berhenti membuat fantasi liar di benakku. Aku sudah muak dengan isi kepalaku sendiri.

Berbeda denganku yang melongo sambil berkhayal ke mana-mana setelah memandang pemandangan indah di luar sana, Vincentio dengan sikap tetap tenang, terus menyetir, seakan sudah terbiasa dengan pemandangan ini, Vin terus mengendarai mobilnya hingga rumah-rumah—atau kita sebut istana itu, semakin jarang ditemui dan semakin banyak tanah lapang kosong di kiri-kanan kami. Tanah lapang yang sangat terawat dan jalan lurus.

"Tolong jangan katakan kalau kita baru saja melakukan perjalanan waktu ke zaman Renaissance?" kataku membuka pembicaraan setelah bosan melihat lapangan kosong di kedua sisi kami. Tentu, bayangan rumah-rumah mewah dari zaman pertengahan yang beberapa waktu lalu kami lewati sama sekali tidak bisa lepas begitu saja dari ingatanku. "Kau tidak terlihat terpukau dengan bangunan rumah-rumah itu, Vin. Kau biasanya adalah orang pertama yang akan mengomentari bangunan-bangunan. Kau adalah maniak arsitektur. Jadi, katakan apa yang sedang terjadi padamu."

Aku ingin mendengar suaranya. Vin tertawa kecil dan menggeleng. Seakan aku baru saja menanyakan pertanyaan konyol padanya.

"Maniak arsitektur ... aku tidak yakin kau sedang memujiku atau apa, Simca. Tapi percayalah, aku lebih dari menganga lebar daripada kau saat pertama kali melihat bangunan-bangunan itu. Aku berkomentar terlalu banyak. Dan aku tidak bercanda saat aku bilang terlalu banyak. Beruntung, temanku cukup sabar untuk bisa mendengarkan ocehanku," katanya lembut tanpa kehilangan senyuman tenangnya itu. "Aku hanya sudah terbiasa. Tapi kau tahu, itu tadi memang mengagumkan," komentar pendek lainnya dari si Maniak Arsitektur. Mata Vincentio akan bercahaya seperti anak kecil yang sedang membicarakan impiannya di masa depan. Begitu berseri-seri dan mengagumkan. Oh, Vincentio ....

Mr. Wolf (COMPLETED) Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora