11 - Pemaksaan

2.7K 251 21
                                    

Dengan penuh kekuatan, Delvin memukul samsak di depannya dengan tinjuan yang cukup keras, hal itu dia lakukan berulang-ulang sampai keringatnya pun sudah jatuh membasahi seluruh pelipis dan badannya. Tak mampu membendung kekesalan dan emosi di dalam hatinya, Delvin lebih memilih melampiaskannya semua hasratnya untung memukul samsak dengan gerakan yang cukup keras dan cepat. cowok itu tetap tak gencar untuk berhenti memukul, Napasnya memburu, emosinya semakin mencapai ubun tatkala dia mengingat bagaimana masalah yang di timbulkan ayahnya dan juga perkara yang selalu membawa nya di ambang kehancuran.

Samsak yang di pukul terus berayun seolah memperlihatkan bagaimana kuatnya tenaga Delvin. Terlebih lagi tangannya yang sudah terbalut dengan sarung tangan. Terus mengepal kuat, berusaha menyalurkan rasa kekesalan yang Delvin rasakan. Ujung rambut dan juga seluruh badannya yang hanya terlapisi dengan kaos oblong sudah basah akibat keringat. Dia terus memukul sampai tiba di pukulan terakhir yang di daratkannya dengan kekuataan penuh sebelum setelahnya cowok itu memilih mendelik ke arah kursi tempat di mana dering ponselnya berbunyi.

Delvin menghembuskan nafasnya kasar, dia beralih membuka sarung tangan dan berjalan ke arah kursi untuk menarik handuk kecil berwarna putih di sana. Dia mengelap beberapa tetes keringat di pelipisnya. tak kelupaan dia juga mengambil sebotol air mineral yang masih full sebelum tersisa setengah karna Delvin sudah meneguknya lebih dulu. Ponselnya masih terus berbunyi menandakan adanya panggilan masuk, tapi Delvin tidak menggubrisnya sampai panggilan itu mati dengan sendiri nya, Dia sempat mendelik untuk melihat siapa yang menghubunginya. Dan satu fakta yang Delvin temui, nomor yang menghubunginya barusan adalah nomor asing yang sama pernah mengganggunya tengah malam, Delvin ingat dan Delvin tahu kalau nomor yang tak di simpannya itu adalah nomor ponselnya Vania Zerlinda. Cewek yang selalu mengusiknya akhir-akhir ini.

Delvin berdecak sebelum sebuah notfikasi pesan Line kembali masuk ke ponselnya, kali ini Delvin beralih duduk di kursi dan membuka pesan yang masuk secara berentetan dari ponsel.

VaniaZer : angkat telpon gue.

VaniaZer : ini penting! Lebih penting dari jabatan OSIS lo.

VaniaZer : gue beneran update kalau lo nggak angkat.

VaniaZer : Gue serius kali ini.

Delvin mendesah, tak berselang lama ponsel yang ada di genggaman tangannya kembali berbunyi, dan menampilkan nomor Vania di sana. Sempat bimbang. Sebelum Delvin memilih untuk menggeser layar hijau, dan menerima panggilan dari cewek itu.

"Kenapa baru di angkat sekarang sih? Lama tau nggak, gue nunggu nya." Itu suara Vania.

Delvin tidak menjawab dia hanya mendengar perkataan Vania dari seberang sana dalam diam.

"Lo harus tanggung jawab, gara-gara lo kaki gue sakit, masa tadi gue di suruh lari seratus kali keliling lapangan dari pak Nudin. Malah panas lagi, Semua ini salah lo kalau aja tadi lo nggak kasih tau. Kaki gue pasti nggak bakalan sakit kayak gini,"

Masih dalam diam, Delvin hanya menjadi pendengar setianya ocehan Vania.

"Pokoknya lo harus tanggung jawab. Gue mau lo temenin gue jalan hari ini. Nggak terima penolakan atau gue bakalan upload fotonya, kali ini gue serius. Gue mau jalan sama lo sekarang."

"Halo, kok diam aja? Belum mati kan lo?"

Delvin memilih untuk membuka air mineralnya dan meneguk sisanya dengan sebelah tangan. sementara tangan yang satunya dia pakai untuk memegang ponsel yang masih bertengger di telinganya.

"Berasa kayak penyiar radio, cuman gue yang bicara sendiri. Lo masih di sana kan?" Suara Vania kembali terdengar.

"Delvin," panggil Vania dengan suara merajuk.

KinqueWhere stories live. Discover now