36 - Pergi

2.3K 200 29
                                    

From : 08201XXX

Maaf, aku nggak bisa jemput.

Delvin

Vania menghela nafas sesaat setelah menerima pesan dari nomor tak dikenal yang sudah pasti itu Delvin. Kemarin cowok itu mengatakan akan menjemputnya pergi ke sekolah namun sepertinya perkataan pacarnya hanya jadi wacana semata.

"Belum berangkat?" Danu keluar dari dalam rumah menghampiri Vania yang ada di pelataran, lantas duduk disamping putrinya.

Vania tersenyum simpul. "Ini mau berangkat."

"Vania."

"Iya?"

"Ada yang ingin Ayah tanyakan."

Vania mengerutkan alisnya. "Apa? Ayah."

"Soal kemarin, dari mana kamu mengenal Tuan Aldarich?"

"Ooh." Vania mengalihkan tatapannya ke arah lain, bagaimana dia harus menjawab. Ia bisa saja mengatakan yang sejujurnya tapi Vania merasa ada hal yang tak bisa dia katakan begitu saja. "Om Aldarich itu Ayahnya temen Vania, kebetulan Vania ketemu sama Om Aldarich dan katanya dia kenal sama Ayah makanya dari itu, dia titip salam buat Ayah."

Ayah tampak ragu. "Hanya itu?"

Vania mengangguk. "Hanya itu."

"Kapan kalian bertemu?"

"Belum lama ini, mungkin sekitar seminggu yang lalu di... sekolah." Bohong lagi, pintar sekali Vania.

Vania menyadari bahwa tulang wajah Ayah mengeras bersamaan dengan telapak tangannya yang dikepalkan di bawah secara diam-diam. Sengaja tidak ingin berpikir lebih lanjut Vania kembali mangajukan pertanyaan. "Ayah nggak ke kantor?"

"Sebentar lagi." Danu menjawab lalu menyambungkan. "Vania, Jika terjadi sesuatu segera beri tahu Ayah."

"Sesuatu seperti?"

Danu tersenyum simpul, sambil mengelus puncuk kepala Vania. "Apapun itu, jika kamu rasa tidak bisa kamu tangani sendiri, kasih tahu Ayah."

"Pasti Ayah, pasti."

"Ayah percaya sama kamu." Ucapnya, menarik tangan dari puncuk kepala Vania. "Dan lagi, jangan sembunyikan rahasia sekecil apapun itu dari Ayah."

Vania mengangguk. "Begitupun Ayah, tolong jangan sembunyikan rahasia sekecil apapun dari kami."

"Tidak ada rahasia yang Ayah simpan," Danu menggeleng pelan. "Sama sekali tidak ada."

Vania mengangguk. "Iya, Vania tahu. Karna Vania percaya sama Ayah."

"Mungkin ini harus diluruskan, jika ada sesuatu hal yang kamu ragukan dari Ayah, tanyakan saja nggak perlu disimpan untuk jadi pikiran panjang. Atau mungkin ada yang ingin kamu tanyakan, Hm?"

Vania berpikir sejenak, tapi dia rasa hal kecil yang pernah di dapatkan tidak pantas untuk diperbesarkan menjadi pertanyaan. "Nggak ada Yah."

"Kamu yakin?"

"Iya."

Danu mengangguk, menyudahi perbincangan serius mereka. "Sepertinya kamu harus ke sekolah sekarang, sudah jam segini. Nanti kamu telat."

"Iya, Vania berangkat dulu."

Sejenak begitu Vania menyalim tangannya dan hendak keluar dari pagar, Danu mengerutkan alisnya bingung lantas kembali bertanya. "Vania, nggak bawa mobil?"

"Ya?" Vania menggeleng. "Vania naik Taksi aja Yah." Walaupun alasan sebenarnya karna mobil Vania sering membuatnya susah dijalan, apalagi kalau sudah ngambek tidak mau menyala dan berakhir di bengkel big no. Amit-amit jangan sampai hal itu terjadi lagi.

KinqueWhere stories live. Discover now