"Fisika, Matematika, Kimia, Apaan nih?" Vania membanting pelan buku paket tebal yang sebelumnya dia pegang tadi ke atas meja. "Hitungan semua, otak lo nggak geger tuh?"
Delvin mendelik dari arah buku yang kini dia baca, menggeleng sekilas karna ulah Vania yang membuatnya pongah, sebelum kembali fokus ke arah buku.
Vania mencebikkan bibirnya pelan, sebelum memilih menyandarkan kepalanya di bahu Delvin yang tengah duduk di sampingnya dan melingkarkan tangannya di pergelangan tangan Delvin.
"Ajarin gue dong supaya bisa pinter kayak lo." ucap Vania dengan kepala yang masih bergalut di pundak Delvin berusaha mencari posisi senyaman mungkin.
"Belajar." jawab Delvin tenang, dia tak terlalu memikirkan perilaku Vania yang kini bersikap lebih dekat dengannya.
Vania tampak senang saat Delvin sama sekali tidak mengelek ketika Vania sentuh. "Gue udah pernah nyoba buat belajar tapi hasilnya sama aja, nggak ada yang berubah malah."
"berarti otak lo yang bego."
Vania mengerucutkan bibirnya.
Hening sedetik sebelum Vania kembali membuka suaranya. "Kenapa sih lo suka banget ngancir di perpustakaan? Udah kayak markas besar lo aja.""Supaya nggak bego kayak lo." ucap Delvin tenang sambil membuka lembaran buku selanjutnya.
Vania mencibir. "Giliran yang bego aja ada kaitannya sama gue."
"Emang lo bego."
Vania menarik kepalanya dari pundak Delvin dan memukul lengan cowok itu "Tuh kan, Jahat banget itu mulut!"
Vania mendelik ke arah lain, pandangannya jatuh ke salah satu siswa yang tengah berdiri di ujung rak buku, sesekali Vania dapat melihat kalau siswa cowok itu mencuri pandang ke arahnya dan Delvin. "Apa lo liat-liat?! Gue tau gue cantik nggak usah di lihat sampe segitunya kale!" teriak Vania nyolot ke arah cowok itu, sampai-sampai sang empun yang di teriaki langsung berjalan ke luar dari perpustakaan dengan langkah yang cepat.
Vania mengibaskan rambut panjangnya ke belakang. "Resiko orang cantik mah gitu, selalu jadi pusat perhatian."
Delvin yang mendengar ucapan Vania hanya mendesah malas, seperti biasa tingkat kepercayaan diri Vania memang setingkat dewa.
Vania menganyun-ayungkan kakinya di bawah meja. "Delvin gue laper, belum makan." rajuknya pelan, Seharusnya tadi Vania sudah makan tapi dia malah memilih pilihan mengejar Delvin sampai ke perpustakaan kebanding memakan pesanan nasi gorengnya yang sama sekali belum dia sentuh.
Delvin mendelik. "Salah lo sendiri."
"Temenin makan dong, please." Vania menarik ujung sergam Delvin.
"Ogah, makan sendiri sana."
"Gue serius, ini laper banget, Dari tadi pagi belum makan."
"Gue juga serius, pergi makan sendiri sana."
Vania menghembuskan nafasnya pelan, wajahnya cemberut walaupun begitu dia tak beranjak dari duduknya. Cewek itu tetap duduk diam sekalipun kini dia sudah sangat lapar. Entah kenapa batinya berkata untuk tidak pergi meninggalkan Delvin.
Melihat Vania yang tak kunjung berdiri, membuat Delvin memilih menutup penuh buku bacaanya dan berdiri dari duduk, tanganya terulur menarik pergelangan tangan Vania dan membawa cewek itu berdiri.
"Kenapa?" Tanya Vania ketika Delvin menggenggam tangannya dan membawanya keluar dari perpustakaan.
"Mau makan kan?"
Vania mati-matian menahan senyumnya untuk tidak di lihat oleh Delvin. "Jadi sekarang kita ke kantin?"
"Ke Toilet." jawab Delvin asal dengan kerlingan mata malas.

YOU ARE READING
Kinque
Teen FictionVania Zerlinda pernah berkata. "Gue nggak akan, ninggalin sahabat gue demi cowok." Tiba-tiba, Delvin Arsen Aldarich selaku ketua OSIS paling tampan satu sekolahan lewat. "Minggir dulu lo sono, buset ganteng banget tuh cowok." "Bangsat, Vania." "Maa...