Ada kalanya rahasia itu punya batasnya, mungkin sebagian orang meyakini rahasia adalah hal paling penting dalam hidup mereka dimana apapun yang mereka simpan merupakan wujud asli dari topeng kehidupan. Vania pribadi tidak mempermasalahkan apabila rahasianya di ketahui orang lain, baginya sebaik apapun rahasia disembunyikan ada waktunya kelak dimana hal itu akan terbongkar.
Masih mengenai persoalan rahasia. Sebenarnya Vania yakin Delvin punya sesuatu yang selama ini dia simpan rapat-rapat, dan mencegah agar orang lain tidak boleh tahu soal hal itu, termaksud Vania.
Sejujurnya, puncak penasaran Vania sudah dia tampung sejak lama. Dia ingin tahu apa rahasia yang Delvin simpan tapi semakin dia gali semua rasanya seperti menggali tanah kosong yang tidak akan ada jawabannya.
"Vania, bagi bulat bakso lo ya." Adel berkata, sambil menusuk bakso dari mangkok Vania dan melahapnya bulat-bulat.
Masih berkelana dengan pikirannya, entah secara refleks atau tanpa sadar Vania mengambil botol kecap di atas meja kemudian menumpahkan isinya ke dalam mangkok baksonya, matanya memandang ke arah lain tapi tangannya tetap setia menumpahkan kecap hingga warna kuah baksonya sudah berubah menjadi hitam. Bela dan Adel yang menyadari hal itu masih melihat Vania heran tanpa memberi tahu kalau kecap yang ditumpahkannya sudah lebih dari cukup.
Vania mengerjap beberapa kali, kemudian menaruh kecapnya masih dengan tatapan kosong, lantas setelahnya dia mengambil sedikit kuah baksonya menggunakan sendok lalu mencicipinya. Seperti yang di duga Vania yang pikirannya berkelana entah kemana tiba-tiba saja seperti ditarik ke dunia nyata begitu rasa manis tak tertolong langsung mengecap di indra perasanya, hal itu sontak membuat Vania memuntahkan kuah di dalam mulutnya ke mangkuk dengan wajah kelewatan masam.
"Gila, manis banget anjir!"
Vania melirik Adel dan Bela yang duduk di depannya, kedua cewek itu hanya bisa mengedikan bahu sambil menyantap bakso mereka.
Vania mendorong mangkuk baksonya dengan wajah cemberut kemudian menopang dagunya dengan helaan nafas kasar.
"Sebenarnya lo tuh kenapa sih Van?" Tanya Adel sambil meminum air mineralnya kemudian melanjutkan. "Dari jam'nya Pak Agus juga lo kayaknya bengong terus, kenapa? Ada masalah?"
Vania menggelang. "Nggak ada."
"Oh berarti ada masalah." Bela menyahut.
"Nggak ada, bawel banget lo berdua."
Adel ingin kembali menyahut tapi bunyi dering ponsel dari saku Vania lebih menyita perhatian mereka. Vania kenal itu bukan suara nada dering ponsel miliknya jadi dengan dugaan pasti dia mengeluarkan ponsel milik Delon yang tentunya masih ada padanya hingga saat ini. Disana tertera nomor tak dikenal, yang membuat Vania sedikit mengeryit.
"Tunggu, lo beli hape baru?" melihat ponsel keluaran terbaru yang Vania pegang, membuat Bela penasaran untuk tidak bertanya.
Adel ikut menyahut. "Kok pilih warnanya hitam sih? Nggak cocok banget kalau buat cewek yang pake."
"Bukan punya gue." Vania menjawab sekenanya, lalu menerima panggilan dari seberang dengan nada ramah. Siapa tahu saja ada orang bersangkutan yang mau mengambil ponsel Delon. "Halo dengan Vania, ini siapa ya?"
"Hai."
"Hem? Oh hai."
"Ini gue Delon."
Ekspresi Vania sontak berubah menjadi datar. "Oh gue kirain udah mati lo, sialnya lo masih hidup sayang sekali."
"Ada alasan kenapa lo membantu gue untuk tetap hidup kemarin."

KAMU SEDANG MEMBACA
Kinque
Teen FictionVania Zerlinda pernah berkata. "Gue nggak akan, ninggalin sahabat gue demi cowok." Tiba-tiba, Delvin Arsen Aldarich selaku ketua OSIS paling tampan satu sekolahan lewat. "Minggir dulu lo sono, buset ganteng banget tuh cowok." "Bangsat, Vania." "Maa...