BAB 11

71 21 27
                                    

Vira pov

Aku sedang berjalan menelusuri lorong kampus untuk pulang ke rumah. Kuliahku sudah selesai sejak lima belas menit yang lalu. Aku mampir ke perpustakaan terlebih dahulu untuk mengembalikan buku.

Saat aku berjalan ke arah gerbang depan, tatapan mataku bertemu dengan tatapan mata seseorang. Seseorang yang kukenal.

"Vira, aku gak nyangka kita bakalan ketemu di sini."

"Aku juga gak nyangka, mas Bagas."

"Aku pikir kuliahmu udah selesai dari tadi, jadi gak bakalan ketemu."

"Lima belas menit yang lalu sih selesainya. Aku mampir ke perpusatakaan dulu tadi."

"Pulang naik apa, Ra?"

"Tuh, ojek depan kampus," ucapku sambil menunjuk salah satu tukang ojek yang sedang mangkal.

"Mas Bagas ada urusan apa ke kampusku?" tanyaku kepada mas Bagas.

"Nungguin adik. Ada yang perlu aku omongin sama dia."

"Adik mas kuliah di sini? Wah, kebetulan banget dong."

"Dunia emang sempit," ucap mas Bagas kemudian kami tertawa bersama.

'Kapan lagi bisa ketawa bareng sama mas Bagas,' batinku.

Tiba-tiba, dari belakang ada seorang pria yang berbicara kepada mas Bagas.

"Kak, udah nungguin dari tadi?" tanya pria itu yang kemudian sudah berada disampingku.

Aku menoleh kearahnya. Aku hanya ingin tahu seperti apa adiknya mas Bagas. Tatapan kami bertemu. Tatapan keterkejutan.

"Vira."

"Bara."

"Lo kok masih di sini?" tanya Bara.

"Kamu adiknya mas Bagas?" tanyaku yang tak kalah terkejutnya.

"Lho, kalian udah saling kenal?" kini giliran mas Bagas yang bertanya.

Kami pun sama-sama mengangguk.

"Ini adik mas yang dulu nakalnya minta ampun itu?" tanyaku sambil menunjuk Bara memastikan tak percaya pada kenyataan yang ada.

"Dia siapa kakak?" tanya Bara kepada mas Bagas.

"Adiknya sahabatku saat SMA," ucap mas Bagas.

"Yaudah, aku pulang duluan," ucapku kepada mereka berdua.

"Hati-hati di jalan, Ra. Titip salam buat Zaki," ucap mas Bagas yang kubalas anggukan.

Aku pun menyebrang jalan dan melangkah menuju salah satu tukang ojek di sana.

"Bang, ke perumahan mawar kompleks F bisa?" tanyaku kepada tukang ojek tersebut.

"Bisa, mbak," ucap tukang ojek itu kemudian memberikan helm kepadaku.

Aku bersama tukang ojek dan sepeda motornya itu segera meninggalkan kampusku menuju ke tempatku tinggal.

Lima belas menit kemudian, aku sampai tepat di depan rumahku. Tukang ojek ini memang pintar mencari jalan pintas agar cepat sampai tujuan. Apalagi saat macet tadi, dia dengan mudahnya menyalip mobil-mobil di jalanan layaknya seorang pembalap. Sepertinya, aku akan menjadikannya tukang ojek langgananku.

"Nih, bang. Makasih ya, kapan-kapan aku ngojek lagi sama abang," ucapku kemudian memberikan ongkos kepada tukang ojek tersebut.

"Sama-sama, mbak. Jangan ragu untuk naik ojek saya," ucap tukang ojek tersebut kemudian meninggalkanku yang masih berada di teras rumah.

Kebahagiaan yang TerpendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang