1. Kirana

33.5K 1.6K 44
                                    

Namaku Kirana. Aku biasa dipanggil Rana. Entah kenapa tiap kali orang memanggilku Rana, yang terlintas di kepalaku adalah kata merana...

Begini, biar kuceritakan kisah hidupku. Aku adalah anak tunggal di keluarga Setyo Hutomo. Bapak dan ibuku adalah seorang dokter gigi. Tiap kali aku ingin mengetauhi kisah kasih mereka, bapak cuma berkata, "coba tanya ibumu sana". Lalu tiap kali aku bertanya pada ibu, ibu selalu tersipu dan berkata, "biarlah itu menjadi cerita bapak dan ibu."

Bapak dan ibuku sangat harmonis, aku tak pernah melihat mereka bertengkar. Kalaupun pernah, mereka sangat hati-hati supaya tak kuketahui. Mereka selalu membagi tawa dan kemesraan. Saat aku masih SD, setiap akhir pekan kami selalu menyempatkan waktu bersama untuk jalan-jalan ke taman komplek atau sekedar mengobrol di ruang tengah. Mereka adalah idolaku, pelindungku, panutanku. Mereka adalah sosok yang menanamkan gagasan bahwa pernikahan itu indah.

Dalam hal mendidik anak, mereka bisa saling melengkapi. Bapak orang yang keras. Karena demikianlah didikan kakungku dulu padanya. Bapak bisa saja jadi seorang ayah yang tak segan-segan membentakku atau bahkan memukulku jika aku berbuat salah. Namun itu semua tidak pernah terjadi. Itu berkat ibuku. Ibuku adalah wanita paling sabar dan baik yang ada di hidupku. Aku menyayanginya sepenuh hati. Tiap kali aku membuat kesalahan dan bapak hendak memarahiku, ibu selalu jadi penengah. Beliau akan menyuruhku masuk ke kamar lalu beliau akan menghadapi bapak yang sedang emosi. Setelah beberapa saat, bapak akan menyusulku ke kamar dan berbicara padaku. Tanpa kemarahan. Bapak hanya akan berbicara ini dan itu. Beliau akan menujukkan letak kesalahanku lalu memberi nasehat seperlunya. Beliau akan bicara baik-baik tapi nada bicaranya yang membuatku begidik, serasa hawa dingin merayap di punggungku.

Bapak dan ibuku itu pribadi yang bertolak belakang. Dengan melihat raut wajahnya saja sudah terlihat perbedaannya. Bapak itu tegas, keras. Ibu itu lemah lembut. Bapak seringnya berapi-api. Ibu itu seperti udara sejuk di siang hari. Kalau bapak itu pemimpin di rumah. Tapi ibu adalah malaikat di rumah kami. Ibu adalah suara yang selalu kudengar tiap aku akan melakukan sesuatu. Ibu adalah sosok yang kusebut rumah. Ibu adalah sosok yang mengajarkan bahwa hidup selalu penuh dengan hal baik. Tapi ibu adalah sosok yang egois. Beliau lebih memilih meninggalkan aku dan bapak untuk selamanya.

Waktu itu aku masih kelas 5 SD. Sepulang sekolah, aku memarkirkan sepeda miniku di carport seperti biasa. Tapi saat itu aku lihat mobil bapak sudah ada disana. Itu hal yang jarang aku lihat. Karena aku sampai di rumah jam setengah satu siang sedangkan jam praktek bapak biasanya selesai jam 3 sore. Di rumah biasanya hanya ada ibu. Ibu berhenti bekerja saat hamil aku dan memutuskan untuk jadi ibu rumah tangga sepenuhnya.
Saat masuk ke rumah, aku mendengar suara gaduh dari kamar bapak dan ibu. Aku langsung menuju kesana. Aku mendengar bapak dan ibu bertengkar hebat di dalam kamar. Sebenarnya bapak yang berteriak-teriak sedangkan ibu hanya menangis. Waktu itu aku hanya berani berdiri di depan kamar mereka yang tertutup. Katakanlah waktu itu aku shock. Itu adalah pertengkaran mereka yang pertama kali aku dengar. Aku diam, berdiri di sana, mencuri dengar pertengkaran mereka. Sayup-sayup aku dengar bapak mengatai ibu egois, tega. Bapak marah pada ibu karena ibu sakit tapi tidak memberi tahu bapak.

Kanker.
Dulu kata itu terdengar sangat asing di telingaku. Bahkan dulu aku sempat mengira kanker adalah nama kue kering. Sumpah aku tak bohong! Ya, bodoh memang!

Sejak kejadian itu, ibu mulai berobat. Ibu jadi sering terlihat ke rumah sakit bersama bapak. Namun bukan untuk menemani bapak bekerja. Kian hari badan ibu semakin kurus, kulitnya keriput, dan rambutnya menipis. Kadang ada kalanya ibu tak sengaja meremas perutnya di hadapanku. Tiap kali kutanya, "ibu sakit apa sih?" Ibu akan selalu tersenyum padaku lalu berkata, "sakit perut, nak. Kamu makanya kalau makan hati-hati ya. Jangan asal jajan. Jangan telat makan juga...bla bla bla" dan rentetan nasehat soal makan makanan yang sehatpun meluncur dengan lancar dari mulut ibu. Waktu itu aku hanya mengiyakan. Sudah kubilang bukan kalau aku tadinya mengira kanker adalah sejenis kue kering. Waktu itu aku berpikiran ibu hanya salah makan maka dari itu perutnya sakit. Sudah. Sesederhana itu!

Setelah berobat kesana kemari, dan mencoba ini itu ibu tak kunjung sembuh. Perabotan rumah kami berkurang satu-persatu, dijual. Dari alat elektronik, sepeda, motor, mobil hingga yang terakhir rumah kamipun terpaksa dijual. Ibu sudah sebatang kara sejak SMA. Ia memperjuangkan hidupnya sendiri sejak itu. Jadi kami terpaksa menumpang di rumah budhe Sudarmini, kakak perempuan bapak. Budhe dengan tangan terbuka menerima kami. Waktu itu aku sudah kelas 6 SD. Aku tetap bersekolah di SD ku yang lama karena memang jarak rumah kami dan rumah budhe tidak terlalu jauh. Bisa ditempuh dengan motor selama 15 menit saja. Namun tetap saja jadinya jarak ke sekolaku semakin jauh. Bapak jadi bertugas mengantar-jemput aku tiap hari menggunakan motor butut pakdhe. Motor yang ditinggalkan oleh pemiliknya entah kemana. Belakangan aku baru tahu pakdhe kabur dengan perempuan lain setelah budhe divonis tidak bisa memberikan keturunan, atau bahasa kasarnya, mandul. Sekarang pakdhe sudah punya 3 orang anak. Semuanya perempuan. Hanya itu yang aku tahu. Hanya sebatas itu peduliku.

Dengan dibantu budhe seadanya, bapak kembali mengusahakan pengobatan ibu. Bapak jadi ikutan kurus dan tampak selalu kelelahan. Sedangkan ibu, ibu semakin mengenaskan. Tapi saat itu ibu selalu berkata padaku, "Rana, hidup ini sudah mengerikan tanpa kamu harus berpikiran yang tidak-tidak. Kalau kamu berpikiran buruk, kamu akan rugi besar. Berpikiranlah yang baik, nak! Tuhan itu baik. Kalau kamu sedang susah, ingatlah akan ada kebahagiaan dibelakangnya. Jadilah perempuan yang kuat!" ucapnya sambil mengelus pipiku, tak lupa senyuman tulus tersungging di bibirnya. "Kirana, ibu percaya kamu akan tumbuh jadi wanita yang cantik meski kamu sudah menderita terlalu lama."

Hanya itu kata-kata terakhir yang kudengar dari ibuku. Keesokan harinya, aku mendapati banyak orang dengan baju hitam-hitam berkumpul di pelataran rumah budhe dan ada bendera tanda lelayu di dekat sana.

Saat itu aku baru saja pulang sekolah. Itu adalah hari kelulusanku. Waktu itu aku bahagia bukan main. Aku bahkan berniat menunjukkan surat kelulusanku pada ibu. Namun saat sampai di gerbang sekolah, bukan bapak yang menjemputku. Salah seorang tetangga budhelah yang waktu itu aku temui menungguku di atas motor butut yang biasa bapak pakai.

Saat aku tiba di rumah, jenasah ibu sudah didandani, sudah berada dalam peti mati. Aku menangis sejadinya. Meronta. Meraung... Bagaimana tidak?! Ibu berjanji saat aku lulus, ibu akan sembuh dan kami bisa kembali seperti dulu. Aku bahkan mengeluarkan surat kelulusanku dari dalam tas lalu melambai-lambaikannya dengan kasar ke arah ibu. Aku meraung-raung di samping peti mati ibu, menyuruh, meminta bahkan memohon supaya ibu membuka matanya. Aku berteriak menagih janjinya untuk sembuh.
Saat itu bapak yang memelukku berbicara lirih padaku, "ibu sudah sembuh, nak". Barulah aku diam, tubuhku luruh. Aku menangis tanpa suara dalam pelukan bapak. Iya ibu sembuh. Ibu sudah lepas dari sakitnya. Namun disaat yang sama, ibu juga melepas aku dan bapak untuk selamanya.
***

KiranaWhere stories live. Discover now