10. Accidentally in Love

14.4K 1.1K 47
                                    

"Maksud kamu apa, Ran?!"

Aku yang saat itu baru saja menidurkan Juna di kamarnya cukup terkejut ketika mendapati mas Bara tiba-tiba saja masuk ke kamar Juna tanpa permisi. Herannya lagi ia masih di rumah. Saat itu jam 8 malam, biasanya mas Bara sudah berangkat bekerja jam segitu.

"Bisa kita bicara di tempat lain?" aku balik bertanya padanya walau sebenarnya aku tak tahu apa yang ia maksud. "Kasihan Juna baru tidur," lanjutku.

Tanpa bicara ia keluar dari kamar lalu aku mengikutinya setelah memberi benteng guling di tiap sisi ranjang Juna.

Setelah aku masuk ke kamar kami, ia menutup pintu kamar lalu berdiri menjulang di hadapanku. Aku harus mendongak untuk melihat ke matanya.

"Ada apa?" tanyaku.

"Maksud kamu apa ngomong kayak tadi sama Bianca?" Aku mengernyit. "Aku nggak suka ya kamu ngomong kayak tadi!"

Aku makin tak mengerti. "Maaf, tapi seingatku aku nggak ngomong sesuatu yang sekiranya menyinggung perasaan mbak Bianca ya, mas," jawabku. "Aku berlaku sopan. Aku bukakan pintu buat dia. Aku persilahkan dia masuk. Bahkan dia langsung pergi ke kamar ini tanpa aku suruh," ucapku agak terpancing emosi mengingat kelakuan wanita itu sebelumnya. "Jadi tolong beri tahu aku, dimana letak kesalahanku. Mana dari ucapanku yang sekiranya bisa menyinggung mbak Bianca?"

Mas Bara menatapku tajam, rahangnya mengatup keras. "Aku nggak suka kamu bilang kalau kamu ponakannya mbok Darmi!" desisnya.

Aku terhenyak, "lho kenapa? Aku jujur kan? Aku memang keponakan budhe. Salahku dimana?"

Kala itu aku bisa mendengar gemeletuk bunyi gigi mas Bara yang saling bergesekan saking kerasnya ia mengatupkan rahangnya.

"Atau mas Bara malu punya istri dari kalangan pembantu?" ucapku penuh emosi.

Mas Bara terlihat terkejut mendengar pernyataanku. "Maksud kamu apa?!" tanyanya, suaranya bergetar menahan amarah.

"Mas Bara tahu pasti apa maksudku," aku berkata demikian tapi aku sendiri bahkan tak tahu mengapa aku bisa berucap seperti itu. Secara tak sadar aku membandingkan mas Bara dan Dimas. Membandingkannya dengan keluarga Dimas yang tak mau menerimaku karena asal-usulku.

Mas Bara hanya menatap tajam padaku. Matanya berkilat penuh emosi. Rahangnya mengatup keras, bahkan urat nadinya menyembul di leher dan pelipisnya. Tanpa menjawab pertanyaanku, ia langsung pergi ke arah kamar mandi. Namun sebelum ia membuka pintu kamar mandi, aku berucap, "kalau memang mas menganggap aku istri, harusnya mas yang meralat ucapanku. Atau mas bisa juga membela aku saat mbak Bianca mengira aku ikut kerja di sini." Aku heran sekaligus takjub pada diriku sendiri. Aku tak tahu dari mana datangnya keberanianku untuk berkata demikian.

Aku merasa marah. Jantungku berdetak cepat seolah memacu adrenalinku. Sudah kepalang tanggung, sekalian saja aku ambil semua resiko yang ada. Aku ucapkan hal yang selama itu aku pendam, "aku bahkan nggak ngerti untuk apa mas Bara masih mempertahakan aku di sini."

Aku muak selalu memendam semua sendirian. Aku tak mengerti apa kemauan mas Bara. Aku lelah merasa selalu dibodohi oleh perasaanku sendiri. Aku ingin tahu kejelasan hubungan kami. Kalau dulu aku mungkin akan diam saja diperlakukan bagaimana juga. Tapi semenjak kejadian mas Bara yang ingin menyerahkan Juna pada budhe setelah ia lahir, itu adalah titik balikku. Aku tak mau lagi hanya diam. Aku berhutang banyak padanya, aku tahu itu. Tapi aku juga manusia. Aku seorang perempuan. Aku punya perasaan. Aku punya batas kesabaran.

Saat tak mendapat jawaban dari mas Bara, aku berucap kembali, "tolong mas Bara beri tahu aku, jelaskan padaku dimana posisiku. Supaya nanti aku bisa menempatkan diriku, dan aku bisa memilah bagaimana aku harus bersikap dalam kondisi tertentu."

KiranaWhere stories live. Discover now