4. Bara

15.6K 1.1K 14
                                    

Kini usiaku sudah 28 tahun. Aku sudah mempunyai seorang putra berumur 10 tahun. Namanya Arjuna Salendra. Iya, aku "menikah" dengan salah seorang putra Salendra. Suamiku kini berusia 41 tahun. Namanya Sabara Salendra. Aku biasa memanggilnya mas Bara. Aku sebelumnya tak pernah menyangka akan "menikah" dengan seorang pria yang usianya terpaut jauh dariku. Lebih tak menyangka lagi aku akan menikah dengan pria yang bukan ayah dari anakku. Juna, begitu aku biasa memanggil Arjuna, bukan anak kandung mas Bara. Saat mas bara "melamarku", kami bahkan baru bertemu 2 kali. Membingungkan?

Begini ceritanya, awal mula bertemu dengan mas Bara, waktu itu aku baru kelas 2 SMA. Saat itu aku bahkan tak tau namanya.

Aku masih ingat betul waktu itu pagi-pagi sebelum jam enam, aku sudah ada di depan gerbang rumah keluarga Salendra. Rumahnya besar, dua lantai dengan pagar besi tinggi menjulang.

Aku berniat menyusul budhe. Aku ingin minta ongkos. Hari itu budhe lupa memberiku uang ongkos dan uang saku. Biasanya kalau budhe lupa memberiku uang, aku akan memakai uang tabunganku, uang dari mengumpulkan uang saku. Aku jarang jajan di sekolah. Seringnya membawa bekal dari rumah. Uang tabungan itu kadang aku pakai untuk membayar buku paket, uang kas sampai untuk jalan-jalan bersama teman-temanku. Atau seperti saat itu, biasanya aku akan menggunakan uang tabunganku terlebih dahulu. Namun, uang tabunganku sudah habis untuk membayar cicilan buku paket dan uang kas kelas. Jadilah terpaksa aku menyusul budhe untuk minta ongkos.

Saat sampai di depan gerbang rumah keluarga Salendra, aku tak langsung masuk atau menekan bel. Aku takut mengganggu pekerjaan budhe. Selain itu juga karena aku tak pernah tahu menahu tentang keluarga Salendra, selain mereka adalah keluarga tempat budhe mengabdi. Hanya satu orang yang aku kenal dalam rumah itu, Samudra Salendra, teman sekelasku.

Saat itu aku berharap Sam keluar rumah, dengan begitu aku bisa minta tolong padanya untuk memanggilkan budhe. Karena jujur saja, waktu itu aku takut. Jangankan masuk ke pekarangan rumahnya, untuk menekan bel saja aku tak berani.

Aku berdiri dengan gelisah sambil meremas-remas ujung jaketku karena dilema. Namun, tiba-tiba saja aku dikejutkan suara klakson motor. Aku berjenggit kaget, saat menoleh aku mendapati seseorang dengan jaket kulit hitam, celana jeans biru dan sepatu boot coklat tengah duduk di atas motor besarnya. Ia memakai helm fullface, jadi aku tak bisa melihat wajahnya. Saat ia membuka kaca helmnya aku bisa melihat matanya yang tajam lalu ia mengucapkan sesuatu. Aku tak mampu menangkap ucapannya karena terhalang helm. Akhirnya ia membuka helmnya dan saat itu yang terlintas dalam pikiranku hanya satu kata: gahar.

Aku meneguk ludah dengan susah payah, takut. Dan jujur saja aku tak berani memandang mata pria itu. Tapi budhe selalu menegaskan padaku bahwa aku harus selalu memandang mata lawan bicaraku siapapun orangnya. Kata budhe, selain menunjukkan kesopanan, dengan memandang mata lawan bicara, artinya aku menunjukkan bahwa aku tak bisa diremehkan begitu saja. Jadi waktu itu aku berusaha untuk menatap mata pria itu meski aku sedikit menunduk.

"Kamu siapa? Ngapain kesini?" tanyanya kala itu.
"Mm..." aku berdeham untuk menutupi kegugupanku. "Mau cari budhe...pak," sumpah aku tak tahu harus memanggilnya apa waktu itu. Pria itu sedikit mengernyit. Aku berpikir cepat. Aku rasa panggilan "pak" adalah panggilan yang pas. Masa iya aku harus memanggilnya "om"? Itu tidak sopan. Kalau ku panggil "mas", ia tak terlihat seperti masih umur "mas-mas". Jadi waktu itu aku berasumsi pria itu mengernyit mungkin karena tak paham yang aku maksud "budhe". Aku segera meralat ucapanku, "maksudnya mbok Darmi, pak." Aku ingat budhe pernah bercerita kalau di sana beliau dipanggil "simbok Darmi".

Pria itu mengangguk kecil, "ya udah, nanti kamu lewat samping rumah, tar tembus ke dapur. Buka gerbangnya sekalian," ucapnya. Aku membelalak dan tanpa sadar membuka sedikit mulutku. "Ngapain diem aja? Buka buruan!" Aku sedikit tersentak lalu dengan cepat membuka gerbang. Pria itu masuk lalu memarkirkan motornya di depan garasi. "Jangan lupa tutup gerbangnya lagi," ucapnya sambil masuk rumah tanpa menengok ke arahku.

Tanpa buang waktu aku langsung masuk dan menutup kembali gerbangnya. Aku memperhatikan rumah itu sambil berjalan ke samping rumah.

Untuk rumah sebesar itu rasanya terlalu "sepi". Taman di depan rumah itu terlihat asri dan rapi. Tapi budhe bilang satu-satunya orang yang dipekerjakan keluarga Salendra hanya budhe. Itupun hanya sebagai ART. Menurutku agak aneh, untuk rumah sebesar itu hanya ada satu ART, tanpa tukang kebun dan tak ada satpam yang berjaga di depan.

Namun, saat aku tiba di depan jendela dapur, aku paham kenapa mereka tak mempekerjakan satpam. Jauh dipojokkan, di samping ruang untuk mencuci dan menjemur, terdapat anjing Rottweiler berbadan besar, berwarna hitam. Begitu melihatku, anjing itu menggonggong tiada henti. Kalau bukan karena anjing itu dikandang, mungkin aku sudah menangis ketakutan sambil berteriak. Untunglah budhe memang sedang di dapur. Begitu mengetahui anjing itu menggonggong padaku, budhe melotot, keluar dari dapur lalu menyeretku ke depan, keluar rumah tepatnya.

"Kamu ngapain kesini? Ndak tau budhe lagi kerja? Kamu itu...bla bla bla," aku tak ingat budhe waktu itu berkata apa saja. Intinya budhe tak suka aku kesana. Tapi cukup panjang dan cepat. Mungkin ada sekitar satu menit aku hanya berdiam diri mendengar ocehan budhe.

Saat selesai berbicara, budhe melotot ke arahku sedangkan aku hanya nyengir.

"Minta ongkos," hanya itu ucapku sambil menengadahkan tangan kananku.

Budhe mengernyit, "memangnya belum budhe kasih?" Aku menggeleng. Budhe mendengus lalu mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku dasternya lalu meletakkannya di tanganku, "ini sekalian uang saku ya". Aku tersenyum berterimakasih menerima uang itu lalu memasukkannya ke saku rokku. "Tumben nggak kamu talangi dulu pakek tabunganmu? Habis?" Tanya budhe. Aku mengangguk. Budhe mendengus. "Kalau ditanya itu jawab. Bisa ngomong ndak? Mau jadi bisu?!"

Aku cemberut, "iya budhe, duitnya habis buat bayar buku paket sama uang kas kelas," jawabku.

Saat itu tiba-tiba aku merasa ada orang yang melihat ke arah kami. Aku celingukan lalu mendongak menatap salah satu jendela kaca di lantai dua rumah keluarga Salendra. Kacanya gelap tapi aku bisa melihat siluet seseorang di sana. Sesaat kemudian aku merasa kuping kiriku sakit, ternyata di jewer budhe. Aku cemberut menghadap budhe sambil mengusap-usap kuping kiriku.

"Lihat apa kamu?! Ndak sopan!" bentak budhe.

"Itu lho budhe...mm aku cuma mikir kalau dibuat kos-kosan, rumah ini bisa jadi berapa kamar ya?" kilahku setengah berbohong. Saat tiba di rumah itu, memang pikiran itulah yang terlintas di otakku. "Sepuluh kamar mungkin ya, budhe?" lanjutku.

Mata budhe membelalak lalu beliau menoyor kepalaku, "ngawur kamu!" ucapnya. Aku gantian mengusap-usap kepalaku. Sejurus kemudian budhe menoleh, memperhatikan rumah tersebut. Tak lama kemudian budhe berucap, "lima belas kali, Ran."

Aku membelalak, "lhah budhe..." ucapku lalu tertawa. Budhe jadi ikut tertawa juga bersamaku.

Setelah itu, aku mencium tangan budhe lalu berpamitan dan bergegas menuju jalan raya. Dan itulah pertemuan pertamaku dengan mas Bara. Mengenai siluet orang di jendela itu aku yakin benar itu adalah mas bara.
***

KiranaWhere stories live. Discover now