2. Masih Kirana

17.8K 1.2K 29
                                    

Setelah ditinggal ibu, aku dan bapak hancur. Selama berminggu-minggu aku enggan melakukan apapun. Aku jadi ogah-ogahan untuk bersekolah. Tak pernah bersosialisasi. Padahal itu tahun pertamaku di SMP. Setiap hari aku bangun pagi, sekolah, setelah pulang, langsung ke kamar. Aku hampir tak punya teman. Bapak lebih parah lagi. Beliau bahkan hampir dipecat dari pekerjaannya. Waktu itu aku menguping pembicaraan budhe dan bapak. Bapak hampir dipecat karena selalu mendapat keluhan dari pasien. Beliau sering melamun saat jam praktek, sering kurang fokus saat menangani pasien. Meski di hadapanku bapak terlihat kuat, aku tahu bapak sama hancurnya dengan aku. Pernah satu kali aku mendapati bapak menangis tanpa suara sambil memeluk foto ibu di dalam kamar. Saat itu aku putuskan tak lagi berdiam diri dan mencuri dengar segalanya. Aku masuk ke kamar bapak lalu memeluknya. Kami menangis bersama. Tak ada kata apapun yg terucap. Aku ingin bapak tahu bahwa aku selalu ada untuknya. Kami saling membagi rasa kehilangan kami, mencoba saling menguatkan satu sama lain melalui pelukan itu.

Sejak saat itu kami mulai bangkit kembali. Menata hidup kami lagi. Kami masih tinggal di rumah budhe. Budhe yang memaksa, dengan alasan supaya aku ada yang mengurusi. Bapak akhirnya setuju.

Saat kelas 3 SMP, barulah aku tahu apa itu kanker. Ibu mengidap kanker endometrium. Atau yang lebih dikenal dengan nama kanker rahim. Penyakit ini menyerang sel-sel yang membentuk dinding rahim. Mungkin itu yang menyebabkan si penderita tak dapat hamil. Setlah aku ingat-ingat lagi, ibu memang sempat dua kali mengandung tapi selalu keguguran. Mungkin dari situ ibu berinisiatif untuk memeriksakan dirinya. Dan malah memutuskan untuk memendam segalanya sendiri setelah tahu sebabnya. Tapi sudahlah, semua sudah berlalu. Aku dan bapak masih harus melanjutkan hidup.

Setelah kejadian aku dan bapak yang menangis bersama di dalam kamar itu, aku bersemangat kembali. Aku sekolah dengan sungguh-sungguh. Mencari teman sebanyak-banyaknya. Aku bahkan meminta ijin pada bapak untuk bekerja jadi loper koran. Karena aku tahu waktu itu kondisi perekonomian kami sedang buruk. Tapi bapak menolak dan berkata, "kamu ndak usah kerja. Soal cari uang, itu tanggung jawab bapak, urusan bapak. Kalau kamu, tanggung jawabmu cuma satu, belajar. Kalau kamu memang mau membatu perekonomian kita, kamu belajar yang rajin, supaya dapat ranking dan bisa memperoleh beasiswa", begitu ucap bapak kala itu.

Semenjak itu aku berusaha lebih keras. Aku selalu belajar tiap pulang sekolah dan sebelum tidur. Aku selalu memperhatikan ketika guru mengajar, mencatat semua materi yang tidak terdapat di buku paket. Aku juga ikut OSIS meski hanya sebagai humas. Namun, memang dasarnya aku kurang pintar. Mau belajar serajin apapun, aku tak bisa mendapat ranking. Jangankan masuk peringkat 3 besar, 10 besar saja kadang masuk kadang tidak. Meski demikian bapak tetap bangga padaku. Hal itu menjadi penyemangatku.

Makin hari aku merasa hidupku semakin membaik. Aku sudah tak terlarut lagi dalam kesedihan karena ditinggal ibu. Aku bersyukur atas hidupku waktu itu. Hingga akhirnya hari itu tiba. Beberapa minggu setelah aku selesai Ujian Kelulusan, semua siswa masih harus ke sekolah, demi presensi, sekedar formalitas. Hari itu bertepatan dengan pengumuman kelulusan SMA dan bapak memaksa untuk mengantar-jemput aku. Awal-awal aku masuk SMP bapak selalu mengantar-jemput aku. Saat aku kelas 3 SMP baru bapak mengijinkan aku untuk pulang-pergi dengan angkot. Itupun harus dibujuk budhe.

Waktu itu, ketika siswa kelas 3 sudah diperbolehkan pulang, aku menunggu bapak di gerbang sekolah. Suara bising kenalpot yang digeber kadang terdengar sampai rasanya gendang telingaku mau jebol. Aku tak heran tapi tak memaklumi juga. Apa hebatnya merayakan kelulusan dengan menggeber kenalpot? Belum lagi aksi corat-coret seragam. Menurutku itu hal yang bodoh.

Aku terus menunggu bapak di depan gerbang sekolah. Namun setelah 2 jam menunggu, bapak tak kunjung datang juga. Yang ada aku dihampiri bapak-bapak, tetangga budhe yang dulu menjemputku saat kelulusan SD, hari ketika ibu meninggal. Detik itu juga sekelebat memori tentang hari kelulusanku dan kematian ibu menghinggapi kepalaku. Aku takut kejadian itu terulang lagi.

Selama dalam perjalanan, aku hanya diam, berdoa yang terbaik. Namun, rasa takutku semakin besar kala aku menyadari kami tidak menuju arah pulang. Kami menuju ke rumah sakit. Aku semakin cemas, tanganku berkeringat, rasa panas mulai menjalar dari punggungku ke puncak kepalaku.

Sesampainya di rumah sakit, kami langsung menuju ruang operasi. Saat tiba di sana, aku melihat budhe sudah terduduk di lantai sambil menangis tersedu-sedu. Di sampingnya, berdiri seseorang yang kuyakini adalah dokter dengan baju hijau, lengkap dengan pelindung kepala dan masker, menatap budhe dengan iba. Saat itu aku sebenarnya sudah tau apa yang terjadi tanpa seorangpun menjelaskannya. Namun aku tak mau menerimanya dan malah menghampiri budhe untuk bertanya apa yang terjadi. Budhe tak menjawab, tak sanggup berkata-kata. Sedangkan aku terus-terusan mendesak budhe dengan pertanyaanku sambil menahan tangis. Tak berapa lama jenazah bapak digeledek keluar. Saat itu aku kembali seperti 3 tahun sebelumnya. Aku menangis dan meraung. Aku bahkan mengguncang-guncangkan tubuh bapak supaya bangun. Tiga tahun lalu aku menangis, meraung dan meronta dalam pelukan bapak. Kala itu, giliran budhe yang mendekapku.

Selama perjalanan ke rumah duka, di dalam ambulans aku selalu bertanya kenapa dan bagaimana.
Kenapa ini terjadi padaku lagi?
Kenapa harus bapak?
Kenapa Tuhan harus mengambil orang-orang yang aku sayang?
Aku terus berpikir keras kenapa bapak bisa jadi seperti itu. Menurut saksi yang ada, bapak sudah berkendara sesuai peraturan. Namun, apesnya bapak saat itu berpapasan dengan siswa SMA yang merayakan kelulusan dengang mengendarai motor secara ugal-ugalan. Bapak terserempet, jatuh dari motor. Katanya setelah itu ada yang melihat bapak sempat terseret beberapa meter. Ada pula yang mengatakan kalau waktu bapak jatuh, tubuhnya terlindas beberapa motor para manusia ugal-ugalan tersebut. Aku tak tahu mana yang benar. Aku tak peduli. Yang aku tahu bapak bisa sampai seperti itu karena ulah para begundal sialan itu.

Saat itu aku diam, mencoba mencerna apa yang terjadi. Bagaimana mungkin bapak sampai kecelakaan? Bapak yang aku kenal adalah seorang pria yg telaten. Beliau selalu teliti saat mengerjakan sesuatu. Contohnya, dulu saat ada kampanye pemilihan calon presiden, bapak selalu mengetahui jadwal partai mana yang berkampanye hari itu. Jika yang sedang berkampanye adalah partai yang seragamnya berwarna merah, bapak akan keluar rumah dengan pakaian warna merah. Jika yang berkampanye hari itu adalah partai yang seragamnya berwarna putih, bapak akan mengenakan baju putih. Bahkan jika yang berkampanye menggunakan seragam warna merah jambu pun, bapak akan keluar rumah menggunakan baju warna merah jambu. Bapak tidak memihak manapun. Hanya cari aman saja. Jadi bagaimana mungkin bapak mengalami kecelakaan tersebut? Maksudku, bapak pasti sudah jauh-jauh hari memperhitungkan jalur mana saja yang akan dilalui untuk berkonvoi. Lalu bagaimana bisa bapak melewati jalur tersebut?

Aku terus berpikir keras hingga suatu kesadaran menghampiri otakku. Bapak pasti ingin segera menjemputku karena takut aku kenapa-kenapa mengingat itu adalah hari kelulusan SMA yang biasanya diwarnai aksi kebrutalan. Bapak pasti khawatir dan buru-buru ingin menjemputku, memastikan aku aman, sampai-sampai beliau nekat melewati jalan yang memang adalah rute tercepat ke sekolahku tapi juga merupakan jalur yang biasa dilalui untuk berkonvoi.

Saat aku menyadari hal tersebut, aku menangis, lagi. Aku menyesal, merutuki diriku sendiri. Aku merasa bersalah. Saat itu aku berpikir akulah sebab bapak meninggal.

Setibanya di rumah duka, aku langsung turun dan menuju kamar. Mengunci diri di sana. Tak melakukan apapun. Hanya duduk meringkuk di samping ranjang sambil menangis tanpa suara. Saat bapak dikebumikan keesokan harinyapun aku tak beranjak dari kamar. Aku bahkan tak mengganti bajuku.
***

KiranaWhere stories live. Discover now