3. Lembaran Baru

17.1K 1K 23
                                    

Berhari-hari aku mengurung diri di kamar. Tak mau makan, tak mau minum. Mandipun budhe harus menyeretku terlebih dahulu. Aku hancur sekali lagi. Kebahagiaanku terenggut lagi. Sehari-hari aku hanya di kamar. Duduk diam, termenung, lalu tiba-tiba menangis lagi sampai ketiduran. Aku selalu menyalahkan diri sendiri atas kematian bapak.

Tidak demikian dengan budhe. Beliau selalu mengurusku. Bahkan beliau rela kesana-kemari, bolak-balik untuk mendaftarkanku ke SMA. Aku bahkan sudah masa bodoh dengan melanjutkan sekolah. Padahal waktu itu nilai kelulusanku sangat bagus. Bahkan mungkin bisa jadi penunjang untukku masuk SMA favorit sekabupaten. Berkat usahaku dan doa serta semangat yang bapak berikan, aku bisa mendapat peringkat 2 di sekolah.

Sebelum bapak meninggal, aku memang ingin sekali masuk SMA 1, SMA favorit sekabupaten, karena dulu ibu bersekolah di sana bahkan dapat beasiswa. Namun ketika bapak sudah tiada, aku tidak peduli lagi. Hilang sudah keinginanku yang menggebu-gebu dulu.

Budhe akhirnya mendaftarkan aku ke SMA yang biasa. SMA yang tiap tahunnya menduduki peringkat 4 sekabupaten. Sayang memang. Dengan nilai kelulusanku saat itu, harusnya aku bisa masuk ke SMA 1 atau SMA 2. Namun kedua SMA itu mengharuskan calon siswanya untuk mengikuti tes tertulis. Keadaanku waktu itu jelas tak memungkinkan. Sedangkan SMA peringkat 3 terlalu jauh dari rumah budhe. Jadilah budhe mendaftar kan aku ke SMA peringkat 4 tersebut.

Selama budhe sibuk bekerja dan kesana-kemari mendaftarkan aku, aku hanya diam di dalam kamar, tak melakukan apapun. Aku bahkan hampir tak pernah makan dan tak pernah minum. Aku bahkan tak bisa membedakan reaksi tubuhku mana yang lemas karena putus asa, mana yang lemas karena tak pernah makan dan minum. Hingga suatu hari tubuhku tak kuat lagi. Aku tumbang, jatuh pingsan.

Saat sadar, aku sudah berada di atas brankar rumah sakit dengan jarum infus yang menancap di punggung tangan kiriku. Budhe waktu itu duduk di kursi samping kanan brankarku. Beliau menangis, memohon supaya aku tidak melanjutkan aksi mogok makanku. Aku tersentuh dengan perbuatan budhe. Sebelumnya sudah aku bilang bukan kalau kakungku mendidik bapak dengan keras? Begitu pula dengan budhe. Beliau adalah pribadi yang keras. Sama seperti bapak. Budhe tak pernah memohon. Pada siapapun. Bahkan dulu ketika ditinggal pakdhe, budhe tidak menangis. Beliau melepas kepergian pakdhe dengan ikhlas. Jadi waktu melihat budhe menangis bahkan memohon padaku, aku ikut menangis. Aku meminta maaf pada budhe karena perbuatanku sudah membuatnya terluka. Dan sejak saat itu aku bertekad menata hidupku lagi. Membuka lembaran baru, kali ini bersama budhe.

***

Saat tiba tahun ajaran baru, aku kembali bersungguh-sungguh bersekolah. Aku belajar dengan giat, mencari teman sebanyak-banyaknya, dan ikut OSIS lagi. Semua kulakukan dengan harapan aku bisa mendapat beasiswa. Karena aku tahu meski bapak sempat menyisihkan uang untuk tabungan pendidikanku, uang bukanlah hal yang melimpah dalam hidupku. Sayangnya, meski sudah bersungguh-sungguh, aku tetap tidak bisa mendapat peringkat pertama. Jangan kan peringkat pertama, masuk 10 besarpun tidak. Mungkin memang dasarnya aku kurang pintar.

Aku jadi teringat kenangan bersama bapak. Kalau dulu bapak yang terus menyemangatiku karena tak mendapat ranking, kala itu giliran budhe yang menyemangati.

Aku bertekad sekali lagi, aku belajar, belajar dan belajar. Aku ingin masuk kelas IPA. SMA ku saat itu sistemnya memang pembagian kelas IPA dan IPS dimulai di kelas 2. Jadi di kelas 1, kami mempelajari semua mata pelajaran sekaligus sebagai masa uji coba sebelum kami memilih ingin masuk kelas mana.

Pikiranku masih kolot saat itu. Aku berpikir kelas IPA adalah kelas yang jauh lebih baik dari kelas IPS karena aku berasumsi kelas IPS hanya berisi siswa-siswa buangan yang nilainya tak mencukupi untuk masuk IPS. Walau pada kenyataannya sistem sekolahku memang demikian. Tapi saat itu aku berpikir bahwa kelas IPS hanya berisi orang-orang bodoh. Siswa-siswanya tidak tertib, suka membolos, suka gaduh di kelas dan suka membuat onar. Jadi aku ingin masuk ke kelas IPA supaya budhe nantinya bangga padaku. Selain itu juga karena aku ingin membalas kebaikan budhe. Beliau sudah mau mengurusku, menghidupiku. Meski biaya sekolah diambil dari tabungan bapak, untuk biaya sehari-hari, budhe yang mencukupi. Mulai dari makan, listrik, uang sakuku, uang ongkosku bahkan ponsel dan pulsakupun budhe yang membiayai. Iya, budhe membelikan ponsel untukku meski hanya ponsel biasa yang hanya bisa untuk SMS dan telpon. Alasan budhe memberiku ponsel adalah supaya aku gampang dihubungi saat di luar. Budhe bahkan tidak punya ponsel. Jika ingin menghubungi aku, beliau akan menggunakan telpon rumah.

KiranaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang