Chapter Bonus: Katakan Saja!

387 15 0
                                    

26 Desember, 2075

Denting piano yang bertengger di ruang keluarga merasuk ke indera pendengaran, lagu yang selalu dimainkan oleh seorang pria pada tanggal yang sama setiap tahun. Harum bunga Calla dan Iris terhirup dibawa angin, membuat suasana semakin manis. Di sekeliling pria yang mengenakan setelan jas tersebut ada lingkaran lilin. Suasana malam yang gelap menjadi cantik ditambah kehadiran lampion merah dan oranye yang berhias di taman belakang, tepat di belakang sang pianis, hanya dipisahkan oleh pintu kaca besar.

Seorang wanita dengan gaun cantik duduk di sebuah kursi, memandang lekat ke sosok yang mempersembahkan lagu A Thousand Years untuknya. Meski telah mendengarnya berkali-kali, tak ada kata bosan mencuat. Lagu itu mampu mengembalikan ingatannya ke hari itu, enam puluh tahun lalu. Ketika pria yang tetap terlihat tampan dan gagah di masa tua itu menekan tuts-tuts hitam putih dengan penuh perasaan, tiap alunan melodi menyampaikan maksud tersirat yang menyentuh hati.

Setelah not terakhir ditekan, tepuk tangan meriah terdengar. Seorang wanita berwajah ayu menghidupkan lampu, menghampiri sang pianis untuk mencium pipi serta memeluknya erat. "Selamat hari pernikahan ke-60, Yah, Bu." Wanita itu menggandeng Ayahnya, Iris untuk mendekat ke wanita yang terus memasang senyum di wajah. "Terima kasih telah bersamaku selama enam puluh tahun. Aku mencintaimu, Iris." Calla berjalan pelan ke arah Iris, memeluknya lantas mendaratkan ciuman tepat di bibir.

Iris tertawa, beberapa penonton yang duduk di karpet bersiul rendah, mengatakan kata cie-cie. "Seperti biasa, aku tahu." Iris membalas kecupan Calla, bukan hanya di bibir tapi di seluruh sudut wajahnya hingga si wanita yang memanggil mereka Ayah dan Ibu harus melakukan sensor, sebuah sheet musik menjadi penghalang anak-anak kecil menyaksikan perbuatan Iris dan Calla, kakek dan nenek mereka yang selalu mesra terutama di malam peringatan pernikahan.

Seusai ritual mesra mereka, Iris dan Calla menyampaikan terima kasih pada ketiga anak mereka, tiga menantu, serta lima cucu. Mereka juga berpesan agar menjaga keharmonisan dan hubungan baik antar keluarga. Dan, di saat Calla mempersilahkan anggota keluarganya menyantap makan malam, ia harus terpaku karena Iris ternyata akan membacakan surat cinta, sesuatu yang biasanya hanya ditulis Iris. Ini pertama kali pria itu membacanya di depan anak-mantu-cucu mereka.

[Dear, Calla

Genap enam puluh tahun kita bersama. Terima kasih karena telah bersamaku. Terima kasih atas perasaan yang selalu kau curahkan. Terima kasih atas segala doa. Terima kasih karena telah menjadi istri, ibu, serta nenek untuk keturunan kita. Terima kasih telah menjadi sahabat terbaik seumur hidupku. Terima kasih telah menjadi saingan terbaik hingga kita selalu mengukur diri untuk selalu melakukan yang terbaik. Terima kasih telah bersedia membagi waktu dan hidupmu untukku. Terima kasih untuk waktu-waktu yang telah, sedang, dan akan datang. Bagiku, kau selalu terbaik.

Aku mencintaimu.

Tertanda,

Iris.]

Calla menerima tisu dari cucu perempuannya yang berusia 12 tahun, dia selalu terharu setiap kali Iris berterima kasih padanya. Sepasang mata hitam yang mulai mengabur itu mencoba fokus ke arah Iris yang juga balik menatapnya. Sebuah aura hangat memancar dari keduanya, tak tergambar, tak terpegang, hanya bisa dirasakan, hanya dimengerti oleh dua orang yang saling jatuh cinta bahkan pada usia senja.

"Nek, mengapa Nenek suka sekali dengan Kakek?" cucunya bertanya tiba-tiba, dia memeluk sebuah buku harian, buku tersebut diambil di kamar pribadi Iris dan Calla, buku yang mereka tulis untuk mengungkapkan perasaan sekaligus sebagai sarana mengabadikan cerita. Calla heran, kapan kamar pribadi mereka disusupi orang lain?

"Mengapa ya? Mungkin... karena Kakekmu suka Nenek." Calla menjawab cepat, matanya mengerling ke arah Iris.

Iris menghela napas dan memeluk cucunya, "Kakekmu adalah orang yang mampu menjerat Nenek dengan pesona, tidak ada hal di diri Kakek yang bisa membuatnya jauh, dia akan terus jatuh hati pada Kakek, selamanya."

Cucunya membuka mulut, memasang raut bingung karena banyak kata yang ia tidak mengerti.

"Lalu, apa yang harus dilakukan jika bertemu orang yang kita sukai? Kata Ibu, Nenek dulu melamar Kakek di panggung wisuda, apa aku juga harus begitu?" cucunya kembali buka suara. Iris yang teringat jelas momen wisuda langsung terbahak-bahak hingga matanya menyempit. Dia mengelus-elus rambut sang cucu, bingung bagaimana menjawabnya.

Calla mengerucutkan bibir, berkata tegas. "Ingat, ya. Ketika menemukan seseorang yang Sisi sukai, yang dicintai sepenuh hati maka... katakan saja! Biar Tuhan yang mendekatkan jika kalian memang jodoh. Seperti Nenek, sejak dulu Nenek selalu mengatakan perasaan dengan jujur! Yang penting, jujur!"

Iris makin tertawa, perutnya geli sekali mendengar pengakuan Calla. "Calla! Sisi masih kecil, jangan mengacaukannya dengan urusan cinta. Bagaimana kalau Sisi melamar laki-laki di panggung perpisahan SD?"

"Ibu! Anak kecil disuapi kisah-kisah penuh kebaikan saja, kisah cinta kalian nanti dibaca sendiri oleh anak-anak jika mereka sudah dewasa." Dua wanita yang berwajah identik bergantian menyahut ke arah Calla. Sepasang anak kembar itu selalu protes karena Calla selalu membahas kisah cinta masa lalunya dengan Iris, kadang... mereka disuruh mendengar berjam-jam padahal mereka punya buku-buku harian yang bisa dibaca untuk belajar dan mengetahui kisah perjuangan cinta mereka selama ini.

"Pokoknya..." Calla meraih lengan Iris, menyeretnya ke kamar pribadi. Sebelum masuk, Calla menoleh pada anggota keluarganya yang geming. "Jangan ganggu kami, mau bermesraan nih." Senyum seringai tampak di wajah Calla yang selalu cantik.

****

"Jadi, ayo mulai bermesraan," Iris bersandar di tempat tidur, menerobos ke sistem penglihatan Calla yang mematung tak jauh darinya. Calla menyengir, dia menyerahkan sebuah surat –balasan untuk surat wajib Iris di hari peringatan pernikahan.

Bola mata Iris berputar-putar, menelusuri tulisan tangan Calla yang ternyata berupa koding.

do{

if (date == '26 Desember'){

printf ("Selamat hari pernikahan!");

printf ("Aku mencintaimu, Iris.");

}

} while (Calla ♥ Iris && Iris ♥ Calla)

"Sintaksnya salah terutama lambang hati," Iris menggelengkan kepala perlahan sambil menahan tawa. Calla cemberut mendengar protes sang professor. "Ngomong-ngomong, koding ini hanya berlaku untuk tanggal 26 Desember, untuk hari-hari lain?" Iris mengerjap, memandang Calla dengan seulas senyum mempesona.

Calla mengedipkan mata kirinya, berdesis penuh goda. "Tentu, kodingnya... ada di diriku. Selama aku mencintaimu, selama itu juga... aku akan mengatakan perasaanku. Iris, aku menyukaimu. Aku mencintaimu."

Iris melipat surat koding Calla, meraih tangan Calla dan menghidupkan sebuah musik klasik, musik yang menyeret mereka berdua untuk berdansa walau tidak selincah atau seseksi dulu. "Seperti biasa, aku tahu." Dan kecupan mempertemukan bibir mereka berdua, lagi dan lagi. Usia bukanlah halangan untuk menyampaikan perasaan lewat sentuhan fisik, rasa itu masih setia tumbuh, bersemi di hati.

[TAMAT]

🎉 Kamu telah selesai membaca My Perfect Rival : Saingan Sempurnaku [TAMAT] 🎉
My Perfect Rival : Saingan Sempurnaku [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang