Bab 2: Sepasang Mata di Tengah Badai Salju

123K 8.8K 71
                                    

Nana

Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat jejeran pesawat di landasan. Menunggu untuk lepas landas tapi keadaan masih belum memungkinkan.

Pesawat sudah menjadi bagian dari hidupku. Dalam setahun, hampir 40% waktuku dihabiskan di pesawat, berpindah dari satu kota ke kota lain. Ada banyak cerita yang terjadi setiap kali aku bepergian. Namun, masih saja ada sedikit rasa takut yang mengikutiku setiap kali akan menaiki pesawat.

Sebuah rasa takut yang tidak beralasan.

Sama seperti rasa takut yang menghampiriku ketika akan memulai hubungan baru.

Rasanya tidak nyaman ketika aku harus mempercayakan hidupku ke tangan orang lain, seseorang yang asing, dan selama berjam-jam menggantungkan hidupku padanya. Ini juga yang menjadi alasan kenapa aku lebih memilih sendirian ketimbang harus berbagi hidup dengan orang lain yang tidak bisa 1000% kupercaya.

Sudah hampir satu jam aku di sini, dan tidak tahu berapa lama lagi aku akan terjebak di sini.

Menyadari diriku yang begitu semangat untuk pulang dan tahu tidak ada seorang pun yang menungguku, membuatku sadar betapa menyedihkannya hidupku.

Alan

Lagi-lagi aku berhasil dijebak oleh Audrey. Satu kali orgasme, dan dia tidak memberitahukan apa saja racauanku ketika mabuk. Tidak mempedulikan Audrey yang masih memohon-mohon dengan wajah memelas dan sambil mendesah, aku meninggalkannya begitu saja.

"You jerk," umpatan Audrey yang masih sempat kudengar ketika menutup pintu.

Bukan sekali dua kali aku mendengar umpatan itu. Kadang datang di saat yang tidak terduga. Ketika aku tengah menikmati sarapan atau makan siang di suatu restoran di suatu kota atau negara, selalu saja ada perempuan dengan wajah emosi menghampiriku. Kadang diikuti satu tamparan atau air minum yang dituang ke kepalaku. Mereka pasangan one night stand yang merasa dikhianati ketika tahu aku sudah pergi sebelum mereka bangun dan tidak pernah menghubungi mereka.

Seperti biasa, aku tidak ambil pusing.

Hatiku sudah mati, jadi aku tidak bisa merasakan apa-apa.

Tidak tahu harus ke mana, akhirnya aku menuju boarding room. Ruangan itu sudah sepi. Mungkin penumpang yang sejak tadi mengomel akhirnya pasrah dan pergi menuju akomodasi yang dipersiapkan pihak perusahaan. Baguslah, jadi aku bisa menggunakan ruangan besar ini sendirian untuk berpikir.

I love airport. I read somewhere that an airport witnessed those missed hellos and hard goodbyes. Airport have seen more sincere kisses than wedding hall. I witnessed all those stories here and from my workplace.

Dan bandara yang menjadi saksi ketika aku jatuh cinta, juga patah hati.

Sebuah tawa kering mencuri keluar dari bibirku, diikuti pukulan ringan ke kaca jendela. Memang, cuaca mencekam seperti ini sangat cocok untuk mengasihani diri sendiri. Seperti yang kulakukan sekarang.

"Oh my God."

Kata itu, yang hampir terdengar seperti bisikan, membuatku menoleh. Seorang perempuan berdiri tidak jauh dari tempatku. Sebelah tangannya terletak di dada dan dia menatapku dengan mata terbelalak.

Aku menoleh ke sekeliling. Tidak ada orang lain di sana kecuali kami, dan petugas bandara yang berdiri lumayan jauh.

"Ya?"

"Kamu membuatku kaget."

"Oh." Hanya itu yang bisa kuucapkan.

Perempuan itu berhenti menatapku dan kembali memandang ke luar jendela. Aku berusaha untuk tidak mempedulikannya. Namun, sosok itu seperti magnet yang membuatku terus-terusan tergerak untuk menatapnya.

(COMPLETE) Autopilot RomanceWhere stories live. Discover now