Extra Part 2: Nana

86.6K 5.7K 68
                                    

PS: Sekadar iseng dan pemanasan sebelum lanjut ke buku 2. Enjoy a little glimpse of their life in Singapore.

"What do you think?"

Alan menatap sekelilingnya sebelum menjawab. "Firasatku kok enggak enak ya, Na?"

Jawabannya refleks membuatku mendelik. "Apa lagi sekarang?"

Kali ini, Alan berjalan menuju jendela dan menatap ke luar. Ini apartemen ketiga yang kami kunjungi hari ini, dan sejauh ini, harapan untuk menemukan apartemen untukku masih tipis.

Aku mengikuti Alan ke jendela dan menatap keadaan di bawah sana. Tidak terlalu tinggi, karena kami berada di lantai tiga, sementara di bawah langsung berbatasan dengan jalan raya dan restoran Cina di sepanjang jalan.

"Terlalu berisik."

"Enggak masalah, sih."

"Dan banyak orang."

"Hah?"

Alan menunjuk restoran yang berjejer di bawah sana. "Kamu sering pulang malam, aku khawatir aja kamu harus ngelewatin restoran itu. Banyak cowok nongkrong di sana."

He got his point, tapi menurutku itu bukan masalah besar. Karena menurutku yang jadi masalah sebenarnya di sini adalah Alan.

"Ini bukan bagian dari rencanamu menyabotase kepindahanku, kan?" tuduhku.

Alan hanya melirikku sekilas, dan tidak menjawab. Namun, dia tersenyum simpul, membuatku semakin yakin dengan kesimpulanku.

Sudah dua bulan aku tinggal di Singapura, dan aku rasa sudah cukup untuk masa adaptasi. Sehingga, aku memutuskan untuk mencari apartemen baru yang lebih manusiawi untuk ditinggali. Awalnya Alan ogah-ogahan ketika kumintai tolong, meski akhirnya dia mau juga menemaniku. Namun, bukan berarti dia bisa bersikap kooperatif.

Di apartemen pertama, dia beralasan terlalu jauh. Memang, sih, aku harus dua kali transit MRT ketika harus pergi dan pulang kantor, dan bagi Alan itu kurang efektif. Mengingat aku pun kurang sreg dengan daerahnya, aku setuju dengannya.

Yang kedua, Alan beralasan ukurannya sama saja dengan apartemenku sekarang, jadi kenapa harus pindah? Ditambah pernyataan broker yang menyebutkan kalau ukuran apartemen studio kurang lebih sama, membuatku semakin pesimis.

Apartemen yang kami lihat sekarang lebih luas dibanding sebelumnya, dan aku bisa naik bis atau MRT tanpa harus transit. Namun, sepertinya Alan masih punya segudang alasan untuk menggoyahkan keinginanku.

Tujuannya masih sama, mengajakku untuk pindah ke tempatnya.

Dan jawabanku masih sama. No way.

"Kita cari yang lain aja ya."

"Janji enggak bakal bawelin aku pakai alasan kamu yang enggak masuk akal itu?"

Alan tidak menjawab, hanya menyengir lebar di depanku.

**

"Firasatku enggak enak, Na.

Aku melotot ke arah Alan. Belum lima menit kami di sini, dan dia sudah mulai melancarkan aksinya.

"Seberapa bener sih firasatmu itu?" Aku bersungut kesal. Kalau tahu akan jadi seperti ini, seharusnya aku jalan sendiri saja.

"Ini beneran, Na. Emang kamu enggak merinding di sini?"

Aku memukul lengannya gemas. "Kamu udah kehabisan alasan?"

"Aku serius, Na." Alan memasang wajah takut. Meski aku merasa kesal, melihat ekspresinya malah membuatku tertawa. "Bangunan tua kayak gini emang creepy, sih."

(COMPLETE) Autopilot RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang