Extra Part 3: Alan

83.6K 5.9K 84
                                    

Extra Part 3: Alan

"Assalamu'alaikum, Bu."

Sosok yang tengah memasak di dapur itu menoleh ke arah pintu. Senyum ibu langsung mengembang begitu melihatku. Aku menghampirinya, dan mencium tangannya—kebiasaanku setiap kali pulang ke rumah.

"Kamu pulang enggak bilang-bilang." Ibu berseru sambil menepuk pundakku.

"Kebetulan lagi libur aja, Bu, jadi mendingan pulang sekalian."

Ibu tersenyum hangat. Beberapa bulan terakhir, aku selalu melihat ibu yang seperti ini—tersenyum hangat dan tanpa beban. Beliau bahkan tampak lebih muda dan santai, tanpa kerut kekhawatiran yang biasanya dia perlihatkan setiap kali bertemu denganku. Juga tidak ada pesan-pesan berisi kekhawatiran, berganti dengan pesan biasa selayaknya percakapan ibu dan anak.

"Alan?"

Aku mendongak ketika namaku dipanggil. Di pintu dapur yang tersambung dengan ruang makan, aku melihat Tante Laksmi baru saja memasuki dapur dengan sepanci penuh berisi sayuran.

"Hai, Tan," sapaku dan menghampirinya.

Adik ibuku itu langsung memelukku, setelah meletakkan panci yang dibawanya di atas meja dapur. "Kamu sendiri?"

Aku mengangguk.

"Nana enggak ikut?"

"Dia lagi di Bintan, ada acara kantor."

Tante Laksmi menatapku dengan senyum terkulum. Tanpa bicara, aku bisa memahami maksud dari ekspresinya itu.

Semenjak memperkenalkan Nana kepada keluarga besarku di acara peringatan kematian nenek, mereka tidak henti-hentinya menyecarku. Baik secara langsung atau lewat Ibu sebagai perantara. Inti dari pertanyaan mereka hanya satu, kapan aku akan meresmikan hubunganku dengan Nana?

Terlebih setelah mereka tahu Nana pindah ke Singapura, sering aku menerima pesan dari tante-tanteku di saat yang tidak terduga, menanyakan kapan aku akan menikahi Nana. Jujur saja, aku merasa terganggu. Apa pun rencana yang kususun dengan Nana, itu cukup menjadi urusanku dan Nana. Kalaupun ingin berbagi, cukup ayah dan ibu saja yang tahu. Meskipun keluarga besarku sangat dekat, ada beberapa hal yang tidak bisa kubagi dengan mereka.

Aku pernah gagal sekali dan kisah kegagalanku itu menjadi konsumsi utama keluarga besarku, bahkan bertahun-tahun setelah itu. Sekarang, hubunganku dan Nana kembali menjadi konsumsi utama mereka, tapi aku tidak akan memberikan umpan kepada mereka.

Aku hanya memikirkan Nana. Sulit untuk menebak apa yang ada di pikiran perempuan itu. Bersama Nana membuatku harus lebih berhati-hati. Aku tidak ingin mendesaknya, meski kadang aku ingin mengajaknya membicarakan soal hubungan ini.

Meski tidak ingin kuakui, hubunganku dan Nana seperti meniti tali tipis yang kapan saja bisa putus jika aku tidak berhati-hati. Dan aku tidak ingin, setipis apa pun tali itu, putus karena sikapku yang tergesa-gesa.

Untuk Nana, aku bisa bersabar.

Namun tidak begitu halnya dengan keluarga besarku.

Aku berniat untuk beranjak dari dapur tapi Tante Laksmi sudah terlanjur menyecarku. Kusempatkan diri melirik Ibu, tapi Ibu hanya tersenyum maklum. Sama sekali tidak membantu. Atas nama sopan santun dan tidak ingin dicap sebagai anak kurang ajar—dan nantinya sikap kurang ajarku ini bisa jadi bahan obrolan utama tante-tanteku—dengan berat hati aku duduk di meja dapur.

"Kapan kamu dan Nana menikah?" Tante Laksmi memang terkenal to the point.

"Saya bantu ya, Bu." Aku meraih panci berisi sayuran yang dipegang ibu. "Ini mau diapain?"

(COMPLETE) Autopilot RomanceWhere stories live. Discover now