Extra Part 1: Audrey

107K 4.3K 133
                                    

"Audrey, kenalkan ini Om Eddy."

Seumur hidupku, sudah tidak terhitung berapa kali mama memperkenalkan om ini atau om itu kepadaku. Aku bahkan sampai sudah kehilangan hitungan berapa banyak om-om yang masuk ke hidupku.

Semula, aku protes ketika mama memperkenalkanku kepada pacar barunya. Protes yang kemudian diikuti hukuman—pengurangan uang jajan seminggu, enggak boleh menonton TV seminggu, enggak diajak jalan-jalan ke mall seminggu dan hukuman lain karena bagi mama, aku sudah berlaku tidak sopan.

Beranjak remaja, aku mulai bersikap apatis. Masa bodo dengan kehidupan percintaan mama. Aku hanya mengangguk sekilas setiap kali mama memperkenalkanku kepada pacar barunya lalu bersikap cuek. Lagi-lagi, mama menuduhku berlaku tidak sopan meski kali ini mama tidak menghukum dengan mengurangi uang jajan.

Karena itulah, ketika dewasa, satu-satunya hal yang ingin kulakukan adalah pergi dari rumah. Menjauh dari mama sehingga tidak perlu lagi berkenalan dengan pacar barunya yang beragam itu. Ini bentuk protes yang lebih beradab dariku, dan mama tidak bisa lagi memarahi atau mengatur tanggapanku.

Ketika Maya, teman kuliahku, mengusulkan untuk mendaftar jadi pramugari ketika aku tengah menganggur setamatnya kuliah, aku tidak berpikir dua kali untuk mengiyakannya. Ini tiketku untuk lari dari rumah, lari dari mama, dan pacar-pacarnya.

Namun, sepertinya aku salah. Mama selalu punya cara untuk mengusik hidupku. Seperti kali ini. Tiba-tiba saja dia muncul di apartemenku di Singapura membawa pacar barunya yang... oh my God, sepertinya hanya beberapa tahun lebih tua dariku.

My mom is such a cougar. Ugh.

"Hi, Audrey." Dia mengulurkan tangan kepadaku.

Om Eddy? Bagaimana mungkin aku bisa memanggilnya Om sementara aku tahu umurnya tidak jauh dariku.

Aku hanya mengangguk basa basi, toh mama tidak melihat. Dia sudah terlanjur menginspeksi apartemenku, mencari celah untuk mengomeliku. Aku sudah 25 tahun, dan sejak tiga tahun terakhir tinggal sendiri, tapi mama masih saja belum percaya padaku.

"Kamarmu berantakan sekali." Mama mendesah begitu muncul di ruang tamu yang sekaligus berfungsi sebagai ruang makan. "Kamu betah apa tinggal di tempat berantakan seperti itu?"

"Nanti aku rapiin." Aku menyahut malas.

Berantakan versi mama tidak sama dengan berantakan menurut arti yang sebenarnya. Satu lembar pakaian di atas tempat tidur, bagi mama itu adalah kesalahan besar dalam hal kerapian. Jadi, aku sudah terbiasa untuk tidak menganggap serius keluhannya.

"Gimana kerjaanmu?"

"Baik."

"Flight terakhir dari mana?" Eddy—atau Om Eddy?—berbasa basi bertanya padaku. Dia duduk di seberangku, menatapku intens, seakan dengan begitu dia bisa menarik hatiku untuk merestui hubungannya dengan mama.

You wish.

Dia hanya satu dari sekian banyak pria dungu yang berhasil dijerat mama. Aku tahu selera mama, dan dia bukan termasuk pria yang akan dinikahi mama. Selera mama selalu sama, mapan dan punya harta banyak, karena dengan begitu, dia tidak perlu khawatir memenuhi gaya hidupnya. Dan pria seperti Eddy hanya selingan, ketika mama butuh sex buddy yang oke.

Aku kedengaran kurang ajar? Well, that's my mom.

Mama dan papa bercerai ketika aku TK. Aku tidak tahu masalahnya. Setiap hari mereka bertengkar dan akhirnya papa mengamuk lalu pergi dari rumah. Tidak lama kemudian, mama sudah pacaran dengan om-entah-siapa. Aku yang sedih karena perpisahan orangtuaku akhirnya menghubungi papa dan ikut dengannya. Namun papa sama saja seperti mama, kawin cerai terus menerus, meski aku baru memahaminya bertahun-tahun kemudian.

(COMPLETE) Autopilot RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang