CHAPTER SATU

35.9K 2.8K 294
                                    

Fabian mengerang di atas ranjangnya saat mendengar ponselnya berdering nyaring. Tanpa membuka mata, ia meraba nakas dan mencari benda pipih itu. Setelah mendapatkannya, ia menslide layar lalu menaruh benda itu ke sebelah telinganya.

"Assalamualaikum." Suara di seberang menyapanya. Fabian bergumam pelan.

"Kamu taruh mana sepatuku yang motif batik itu." Suara di seberang terdengar jengkel. Fabian bangun dari tidurnya lalu melirik meja kecil di kamarnya. Sepatu yang dicari gadis itu ada di sana.

"Kenapa nanya sama aku?" tanya balik laki- laki itu.

"Kamu pasti yang ngumpetin, kan? Ndak mungkin sepatu itu hilang sendiri. Sama kayak waktu kamu ngumpetin kunci mobil pak Wiryo dan centong nasi mbok Asih. Ayo ngaku." desak gadis itu.

Fabian menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu tertawa, membuat orang di seberang sambungan kebingungan.

"Ndak usah ketawa, aku ndak lagi ngelawak." Omel gadis itu. "Pokoknya kalau dalam lima belas menit kamu ndak sampai di sini dan bawa sepatu itu. Aku akan ngadu sama Budhe kalau kamu biang keladi kerusuhan di rumah ini." Tanpa mengucapkan salam, gadis itu menutup panggilan. Fabian menatap layar ponselnya lalu bergegas menuruti permintaan gadis itu.

***

Elisa menumpu satu tungkainya ke kaki lainnya, tangannya mengetuk-ngetuk meja kaca di sebelahnya dan matanya berkali-kali melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya.

"Lho, ndhuk, belum berangkat?" tanya Widya yang baru saja keluar dari rumah.

"Dereng, budhe." Jawab gadis itu.

"Memangnya ndak telat? Udah siang gini." Elisa menatap Widya yang sudah berpakaian rapi lalu menggeleng sambil tersenyum.

"Ya sudah, budhe berangkat dulu ya. Ada janji mau ambil barang." kata wanita itu saat melihat mobilnya sudah ada di depan.

"Nggih, hati-hati budhe." kata Elisa sambil menatap mobil hitam itu hingga menghilang di balik gerbang.

Ia melirik jam tangannya lagi, sudah sepuluh menit dan batang hidung laki-laki itu belum juga terlihat. Ia tahu bahwa rumah laki-laki itu mungkin jauh dari rumahnya, tapi laki-laki itu sudah keterlaluan dan harus diberi sedikit pelajaran.

Dua menit sebelum waktu yang diberikannya habis, ia melihat motor besar Fabian memasuki gerbang dan memekik di depannya.

"Pagi, Ajeng." sapa Fabian sambil membuka helmnya. Elisa menghampiri Fabian lalu menampakkan raut wajah jengkel.

"Mana sepatuku?" tanya Elisa tanpa basa- basi.

Fabian memberikan plastik berisi sepatu ke arah Elisa yang langsung menatapnya garang.

"Kamu tuh sejak kapan sih jadi klepto. Hobi kok ngambil-ngambil barang orang lain." keluh Elisa sambil memakai sepatunya.

"Enak aja, aku tuh nggak ngambil, nanti juga dibalikin lagi."

"Terserah, yang jelas, kamu sudah bikin aku pusing pagi-pagi " Katanya, "Pak Wiryo, ayo berangkat pak." Gadis itu sedikit berteriak pada supirnya yang sedang duduk tak jauh dari beranda rumahnya.

"Aku yang antar aja." tawar Fabian sambil menepuk jok belakang motornya.

"Ndak mau, terakhir kali aku naik motor sama kamu, aku hampir kejengkang. Aku masih sayang sama nyawaku." Elisa melirik sinis lalu menatap Fabian dari atas sampai bawah. Laki-laki itu terlihat berantakan lebih dari biasanya. Hanya memakai kaos dan celana pendek dengan rambut acak-acakan, ia bahkan bisa melihat garis-garis bekas bantal di pipi sebelah kanan laki-laki itu. Fix, laki- laki itu belum mandi.

Hands UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang