CHAPTER DELAPAN

11.6K 1.7K 127
                                    

Fabian lupa kapan terakhir kali menginjakkan kaki di tempat ini. Sepertinya sudah lama sekali. Ia turun dari motornya, lalu berjalan menghampiri gerombolan mahasiswa yang tengah berkumpul di depan ruang bahasa, tak jauh dari ruang dosen.

"Wih, Fabian. Masih hidup lo? Ke mana aja?" seru salah seorang laki-laki berambut cepak.

"Sialan lo." katanya sambil meninju bahu laki-laki itu dan bersalaman dengan yang lainnya.

"Gue pikir udah di DO." kata laki-laki berkemeja kotak-kotak.

"Parah lo." sungut Fabian sambil melirik ke arah ruang dosen. "Pak Mulyadi ada?" tanyanya ada teman-temannya.

"Ada, gue juga abis bimbingan sama dia barusan." laki-laki berambut cepak itu menunjukkan satu bendel skripsinya yang sudah di coret-coret pada Fabian yang langsung tertawa.

"Pak Mul itu dosen apa anak TK sih. Hobinya kok coret-coret." kalimat Fabian langsung menyulut tawa dari yang lainnya.

Mereka semua bukan teman satu angkatan Fabian. Teman-teman satu angkatanya sudah di wisuda satu tahun yang lalu sedangkan dirinya masih saja berurusan dengan skripsi yang tak kunjung selesai.

Fabian menoleh ke ruang dosen saat mendengar suara pintu terbuka dan melihat pak Mulyadi keluar dari ruang dan mendekat ke arah toilet.

"Eh, gue masuk dulu, ya. Mumpung Pak Mul lagi ke toilet." kata Fabian sambil berdiri lalu masuk ke ruang dosen yang hari itu tampak sepi. Tanpa pikir panjang, ia langsung menuju meja Pak Mul dan duduk di depannya. Ia mengeluarkan bundelan skripsi dari tasnya dan menaruhnya di atas meja. Jari-jari tangannya mengetuk-ngetuk meja. Membuat bunyi beraturan.

"Ngapain kamu di sini?" Fabian mendongak dan melihat dosen itu menatapnya bak tersangka dan duduk di depannya.

"Mau bimbingan, Pak." Ia melirik skripsinya di atas meja.

"Bimbingan, ndasmu." semprot pria berkacamata itu pada Fabian. "terakhir kali kamu ke sini, saya suruh kamu balik satu minggu, ini sudah satu bulan. Kamu masih punya muka buat menghadap saya?" kata pria itu dengan nada geram.

Fabian tersenyum, menampilkan lesung pipinya. "Saya sibuk akhir-akhir ini pak."

"Mahasiswa macam kamu itu sibuknya ngapain? Paling cuma nongkrong-nongkrong nggak jelas. Buang-buang duit orangtua." Pria itu membenarkan letak kacamatanya dan menatap Fabian baik-baik.

"Saya janji, Pak. Skripsi saya nggak akan molor lagi. Saya janji bakal kelar dan ikut sidang tahun ini."

"Mau kamu ikut sidang tahun ini atau sepuluh tahun lagi juga saya nggak peduli. Kamu mau jadi mahasiswa abadi juga saya nggak peduli. Saya sudah malas mengurus mahasiswa macam kamu."

"Dih, bapak jangan gitu dong." rayu Fabian dengan nada memelas.

"Sekarang coba kamu berdiri." pinta Pak Mulyadi pada Fabian yang langsung menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.

"Kenapa, Pak? Kita ngobrolnya sambil duduk aja. Pamali kalau berdiri." Fabian memajukan tubuhnya ke meja.

"Saya bilang berdiri, ya berdiri." Pria itu memukul meja dan membuat Fabian tersentak kaget. Perlahan, laki-laki itu berdiri dan menunduk. Tak berani menatap pria di depannya.

"Coba kamu lihat diri kamu sendiri. Berani-beraninya kamu menemui dosen dengan celana buntung kayak gitu." Pria itu melepas kacamatanya dan sedikit melemparkannya ke atas meja.

"Semua celana saya belum pada kering, Pak."

"Kamu itu tinggal di Jakarta bagian mana? Dari kemarin itu matahari terik. Gimana bisa celana kamu nggak kering?"

Hands UpWhere stories live. Discover now