CHAPTER ENAM

13K 1.8K 223
                                    

Fabian menaiki tangga menuju sebuah pintu. Setelah sampai di depannya, ia menggedor-gedor pintu tanpa ampun. Ia melirik jamnya, masih jam lima pagi, ia tahu bahwa si penghuni rumah mungkin masih terlelap karena baru pulang, sama sepertinya.

"Reng... bangun." katanya setengah berteriak sambil terus menggedor.

"Reng... bangun... gue bakar kosan lo nih." katanya lagi. Tangannya masih terus menggedor hingga pintu yang diujung terbuka.

"Berisik banget sih. Lo tahu nggak ini jam berapa. Ganggu orang aja." Laki-laki berkaos oblong itu mengeluarkan kepalanya dari celah pintu dan menatap Fabian garang.

"Maaf Bang, maaf." Fabian menangkup kedua tangannya seraya meminta maaf. Ia tahu, laki-laki itu berprofesi sebagai security di sebuah perkantoran. Badannya kekar, tinggi besar, kalau saja tubuh Fabian lebih besar dari laki-laki itu, ia tak segan mengomel balik meskipun ia yang salah.

"Reng... bangun..." kali ini ia berbisik di depan pintu. Mendekatkan mulutnya ke daun pintu setelah memastikan sang security telah masuk kembali ke kamarnya.

"Alah, bego banget sih gue. Gue teriak-teriak aja dia nggak bangun apalagi gue bisik-bisik gini." katanya setelah menyadari kebodohannya. Setelah berpikir sejenak, ia mengeluarkan ponsel dan menghubungi nomor Loreng berkali-kali. Sembilan panggilan pertama tak terjawab. Suara serak di seberangnya terdengar saat panggilan ke sepuluh.

"Bangun woy. Gue di depan pintu." kata Fabian. Tak sadar kembali berteriak dengan sangat keras.

"Sekali lagi teriak-teriak gue hajar lo, ya." Fabian terkejut melihat wajah garang itu kembali menyembul dari pintu di paling ujung. Ia meringis lalu menunduk.

"Ampun, Bang, maaf." katanya tepat saat pintu di depannya terbuka. Tak butuh waktu lama, ia langsung mendorong tubuh Loreng dan menerobos masuk ke dalam.

"Ngapain sih pagi-pagi udah nongol di sini?" Loreng mengucek-ucek matanya.

"Lo sama Anggi ngomong apa sama Ajeng?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Ajeng? Nyai pujaan hati lo itu?" tanyanya seraya meyakinkan.

"Iya." jawabnya sambil bersidekap dan duduk di depan sahabatnya yang masih berusaha mengumpulkan nyawanya. Pasalnya, Wina sempat mengiriminya pesan. Bilang bahwa Elisa semakin membencinya karena dirinya ketahuan kumpul kebo dengan wanita lain.

"Nggak ngomong apa-apa. Temen lo nanya, lo tinggal sama siapa? Anggi jawab lo tinggal sama Miranda. Terus nyai lo ngedumel, kabur deh dari sana."

Fabian menepuk keningnya. "Lo nggak bilang kalau Miranda itu kucing gue?"

"Nggak... orang dia nggak nanya, main kabur gitu aja."

Fabian menghela napas panjang. Pantas saja, tak salah kalau Elisa menganggapnya kumpul kebo hanya karena nama kucingnya Miranda. Ia bahkan belum berhasil merubah imagenya yang sudah terlanjur jelek di mata Elisa, dan sekarang PRnya bertambah untuk menjelaskan siapa sebenarnya Miranda yang dimaksud Anggi.

***

Wina dan Elisa sedang duduk di meja makan saat suara ponsel Wina berdenting. Mata gadis itu melebar lalu menatap Elisa dengan tatapan tidak percaya.

"El, Miranda itu kucingnya Fabian." katanya sambil menunjukkan isi pesan yang baru saja dikirimkan laki-laki itu.

"Wong edan. Kamu percaya kalau Miranda itu beneran kucing?" Elisa menatap Wina yang tampak berpikir sejenak.

"Ya, percaya nggak percaya sih. Tapi, gue ragu juga, masa iya Fabian kumpul kebo. Gue yakin dia bukan laki-laki kayak gitu."

"Kamu tuh jangan terlalu percaya sama dia. Musyrik, percaya tuh sama Tuhan."

Hands UpWhere stories live. Discover now