CHAPTER LIMA

14.2K 1.8K 105
                                    

Jam menunjukkan pukul sepuluh malam saat Wina menerobos masuk ke sebuah kamar tanpa mengetuk dan langsung menjatuhkan dirinya di atas ranjang. Seorang gadis yang sedang terduduk di meja belajar menoleh lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Sudah bukan hal aneh kalau melihat teman-temannya minim sopan satun.

"Mbok yo permisi gitu lho, Na." kata Elisa dengan nada lembut seperti biasa.

"Udah permisi tadi di pintu utama." jawabnya sambil menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Matanya melirik kamar Elisa yang tampak rapi, bersih tanpa cacat. "lo lagi ngapain?" tanyanya.

"Ngerjain tugas akuntansi." jawab Elisa. Ia kembali melempar pandangan ke buku di hadapannya.

"Emang ada tugas?" tanya Wina penasaran.

"Kamu tuh kalau di kelas ngapain aja toh. Kupingmu tuh jangan cuma buat pajangan aja. Masa tugas segitu banyaknya ndak tahu." Sosor Elisa. Wina berdecak sambil memutar bola matanya malas. Tangannya bersidekap lalu menatap punggung Elisa yang tampak serius.

"Ini malam minggu, El. Orang mah jalan-jalan keluar, bukan malah ngumpet di kamar ngerjain tugas. Hidup lo suram banget." kalimat Wina membuat Elisa menoleh. Ia menatap Wina dengan tatapan menyelidik.

"Kamu abis dari rumah Lala ke mana lagi?" tanyanya.

Wina tersenyum kaku lalu bergumam, "Jalan sama Ibnu." Elisa berdiri dari duduknya lalu mendekati Wina.

"Kok bisa? Bukannya kamu nolak buat dijodohin?"

"Tadinya sih iya." Wina berdiri lalu duduk di meja belajar sementara Elisa berganti duduk di tepi ranjang. "tapi kalau dipikir-pikir, nggak ada salahnya gue nyoba. Toh, dia nggak maksa kok. Kalau memang nggak cocok, kita nggak perlu lanjut." Mata Wina menelisik buku tugas milik Elisa.

"Jangan mainin perasaan orang lain." kata Elisa.

"Masih muda main-main mah nggak apa-apa, El." Wina tersenyum lalu memeletkan lidahnya pada Elisa yang langsung mendesis sinis.

"Tante Widya balik kapan?" tanya Wina.

"Minggu depan, abis seminar langsung ke Malaysia." jawabnya. Suami Widya memang bekerja di Malaysia dan hanya pulang sebulan sekali. Sesekali Widya dan Ervan memang pergi ke sana kalau pekerjaan suaminya sedang tidak bisa ditinggal.

"Bebas dari sangkar emas dong lo." ejek Wina. Matanya menajam saat mendengar sesuatu dari luar balkon Elisa. "kayak ada suara diluar, El." Ia berdiri lalu mendekat ke arah balkon saat mendengar suara lagi.

Elisa yang sudah tahu betul siapa yang sekiranya ada diluar tak lagi penasaran. "Lo dengar suara nggak sih, El?" tanya Wina sebelum mencapai balkon.

"Ndak, aku ndak bisa dengar suara-suara ghaib."

"HAH? Setan itu yang di luar?" Wina menatap Elisa dengan pandangan tak percaya dan melihat sahabatanya mengangkat bahu tak acuh. Dengan keberanian penuh, langkah kakinya berhenti di depan pintu kaca yang dapat dibuka dan setelah menarik napas panjang, ia menyingkap tirai jendela besar itu. Matanya melirik sekeliling. Tak ada yang aneh, pikir Wina, hingga akhirnya kedua bola matanya menangkap sesuatu mencurigakan yang ada di bawah meja bundar berbahan kayu jati di balkon.

"El, bom panci, El." Teriaknya sambil menutup tirai dan membalik badan. Menatap sahabatnya yang lagi-lagi tampak tak acuh.

"Bom panci?" Kali ini dahi Elisa mengenyit dalam. Ia berdiri lalu mendekati Wina yang masih berdiri di depan jendela.

"Iya, bom panci. Buruan panggil security." teriak Wina dengan nada panik.

Tangan Elisa tergerak untuk menyibak tirai. Matanya menatap sebuah panci yang ada di kolong meja.

Hands UpWhere stories live. Discover now