CHAPTER TIGA

16K 2K 117
                                    

Laki-laki berambut ikal itu keluar dari rumahnya, melangkah menuruni tangga dan terkejut melihat pintu rumah Fabian sudah terbuka lebar.

"Ada apa nih rame-rame? Ada operasi tangkap tangan, ya?" katanya sambil menatap Fabian, Ervan dan Elisa secara bergantian.

"Mulut lo minta tabok banget." sungut Fabian sambil melotot ke arah Loreng yang kini hadir di tengah-tengah mereka.

Loreng menatap seorang gadis yang kini menatapnya dengan tatapan menyelidik. Mata tajam gadis itu menelitinya dari atas sampai bawah. Menelanjanginya tanpa ampun.

"Kamu ini laki-laki apa perempuan?" tanya Elisa pada Loreng yang langsung mengenyit bingung.

"Laki-laki lah." Loreng menjawab cepat.

"Terus, itu kenapa telinga dipakein anting? Kayak perempuan aja." katanya dengan nada sinis. Matanya kini melirik rambut Loreng yang ikal dan dikat dengan karet.

"Coba buka mulutnya." perintah Elisa. Loreng menurut dan membuka mulutnya.

"Lidah pakai ditindik segala. Kamu pikir dengan begitu kamu kelihatan keren?" kata Elisa dengan nada mengejek. Fabian menahan geli saat melihat sahabatnya ternganga mendengar pernyataan gadis itu yang blak-blakan.

Mata Elisa kini terpaku pada sebuah tato tengkorak di lengan kanannya. Mengikuti arah pandang gadis itu, Loreng langsung menutup tatonya dengan sebelah tangannya, takut akan mengundang komentar sinis dari gadis itu lagi.

"Tatomu jelek." tandas Elisa lalu berbalik. Berjalan menghampiri Ervan dan menarik tangannya untuk keluar dari rumah itu.

"Ajaib." seru Loreng saat mendapati punggung gadis itu menghilang dari pandangannya, sementara Fabian mulai terbahak. "jangan bilang itu cewek yang mau lo prospek buat jadi istri." Laki- laki itu menjatuhkan diri di sofa lalu melihat sahabatnya mengangguk mantap.

"Lo nggak salah, bro? Itu cewek mulutnya udah kayak cabe sekilo. Pedas banget." komentar Loreng sambil mengambil remot televisi dan menekan beberapa angka yang tertera di sana.

"Dia cuma kaget lihat orang kaya kita. Hidupnya beda. Hidup dia semua serba teratur, nggak kayak kita. Makanya dia suka nggak tahan pengin ngomentarin hidup kita yang berbeda sama hidup dia." jelas Fabian sambil menyeruput minuman kalengnya.

Loreng menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. Seumur hidup, hanya gadis itu yang berani melontarkan pertanyaan, "kamu ini laki-laki apa perempuan?" sungguh, itu pertanyaan yang benar-benar menjatuhkan harga dirinya, belum lagi komentar tentang lidahnya yang ditindik. Lalu mengejek tato tengkoraknya jelek. Matanya lalu menatap tato di lengannya dengan seksama.

"Kalau tato di lengan gue yang keren ini dia bilang jelek, apa kabarnya kalau dia tahu tato lo yang cupu itu. Pikachu." katanya dengan nada mengejek.

"Dia udah tahu." jawab Fabian yang langsung membuat Loreng menoleh.

"Terus komentarnya apa?"

"Dia bilang gue tetap ganteng mau pakai tato apapun juga." jawabnya sambil tertawa, membuat Loreng langsung meninju lengan Fabian sambil mendesis kesal.

***

Elisa merengut sepanjang perjalanan pulang. Ia tak menyangka akan menemui hari ini. Di mana kakinya akan menginjak rumah Fabian yang serupa kandang ayam. Tak hanya penampilan dan kehidupan laki-laki itu yang berantakan, namun rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyamanya pun tak kalah berantakan. Ia tidak sanggup berpikir sudah berapa lama rumah itu tak dibersihkan dan serangga-serangga apa yang sudah berkumpul di kolong-kolong meja rumah itu.

"Kamu ndak ngapa-ngapain kan, Van, di rumah Fabian?" tanya Elisa sambil menoleh ke samping, di mana Ervan terdiam sejak tadi.

"Nggak, Mbak, Ervan cuma main PS doang." jawabnya jujur. Tak sadar, Elisa mengembuskan napas lega lalu terfokus pada jalanan yang tampak lenggang hari ini hingga mobil itu memasuki halaman rumah besarnya.

Hands UpWhere stories live. Discover now