12 - Kelam Dalam Kenangan

1.7K 70 0
                                    

"Saat sebuah perasaan itu datang menyeruak  dalam hatiku, lantas mengapa kau melepaskan genggamanku?
Membuatku mematung, menatap nanar kearahmu yang kian menjauh dariku!"

***

Nika memandang diam pada sebuah kalung perak yang tegeletak manis didalam sebuah kotak persegi panjang berwarna merah, ia menghembuskan napasnya jengah. Rasanya dia benar-benar merasa dikhianati. Bukan perasaan kehilangan saja yang dia rasakan, tapi sebuah pengkhianatan terbesar juga dia rasakan diam-diam dalam hatinya.

Ini sudah empat tahun lamanya dan dia masih mengingat cowok itu. Mampukah dia tetap mengingatnya? Tapi nyatanya memang ya, dia masih mampu. Namun berbeda dalam hal ini, perlahan Nika merasakan kenyamanan jika Devan berada didekatnya. Melebihi apapun, dia bahagia ketika bersama Devan. Jantungnya sering kali bergemuruh tak karuan setiap Devan menatap manik matanya.
Tapi ada hal lain, sosok itu diam-diam seperti ada dalam diri Devan. Kedua matanya, bibir dan senyumannya. Seperti inkarnasi. Tapi entahlah, apakah hanya kebetulan? Toh, Devan lebih berpenampilan keren ketimbang cowok yang menjadi masa lalunya.

Lagi, Nika menghela napasnya lelah. Ia lelah harus berurusan dengan dunia yang seakan-akan mempermainkannya. Hingga dia benar-benar merasa terbebani.
Kalung perak itu masih sama, tergeletak dalam wadah persegi panjang. Tidak ada yang menyentuhnya, tak terkecuali pemiliknya. Setiap kali Nika mengingatnya, hatinya merasa tertohok. Sakit, seperti dihempaskan kedasar jurang.

"Pelan-pelan jalannya, nanti jatuh!" cowok itu menuntun tubuh Nika, menarik lembut lengan Nika. Gadis itu sendiri tidak bisa melihat apapun, kedua matanya terbalut oleh kain hitam. Cowok itu yang menyuruhnya, Nika hanya diam dan menurut.

"Nah, berhenti. Kayaknya disini tempatnya udah pas." cowok itu menghentikan langkahnya, membuat Nika juga menghentikan langkah.

"Kak, kamu bawa aku kemana?" tanya Nika penasaran, kedua matanya masih tertutup oleh kain.

Cowok itu tersenyum lebar, lalu membenarkan kaca mata minusnya. Kemudian kedua tangannya bergerak untuk melepas simpul ikatan kain penutup mata Nika. Setelah terlepas, ia meminta Nika untuk membuka kedua mata dengan perlahan.

"Buka matanya pelan-pelan, ya," ujarnya dan Nika hanya menurut.

Kedua mata hazel Nika menyapu seluruh objek dihadapannya, indah dan menakjubkan. Hamparan rumput hijau yang luas, disamping kanannya terdapat sebuah pohon beringin yang temaram. Senyum Nika lebar, hembusan angin menerbangkan anak-anak rambutnya yang tergerai.

"Gimana, suka?" suara bariton cowok itu terdengar. Nika menoleh kearahnya, lantas senyumnya melebar.

"Banget, sebelumnya kamu enggak pernah ajak aku kesini?" tanya Nika.

"Sengaja, aku pikir kamu nggak bakalan suka."

"Kamu salah, aku justru menyukai yang kayak gini. Semenjak bundaku meninggal, aku lebih sering diam di tepi pantai kan?"

"Jangan terlalu sedih, Nika. Aku nggak mau kamu susah dan menderita."

Nika tersenyum. "Makasih, kamu ngertiin aku. Karena itu, jangan tinggalin aku, ya."

Cowok itu tersenyum kecut, meninggalkan gadis itu memang tidak ada dalam kamusnya. Dia terlanjur mencintai gadis kecil yang berusia empat belas tahun itu.

"Kak, kok bengong?" Nika mengayunkan tangan kanannya tepat didepan wajah cowok yang dipanggilnya 'kak'.

"Em, aku mau ngomong sesuatu."

Just A Dream [Completed]Where stories live. Discover now