29 - Teman Baru

2.1K 86 0
                                    

Nika memilih untuk jongkok, menumpukan berat badannya diatas tumitnya. Pandangannya lurus-lurus kegundukan tanah yang ada dihadapannya saat ini, tangan kanannya mengelus lembut nisan yang bertuliskan Arini binti Zahidun, yang sudah usang itu. Air mata yang sedari tadi dia bendung, kini, jatuh begitu saja. Mengalir, melewati pipi ranumnya. Pipi yang selalu menjadi saksi jika dia sedang menangis. Ia menunduk, sambil menggigit bibir bawahnya agar isak tangis yang memilukan itu tak terdengar diantara keheningan tempat peristirahatan terakhir. Lima tahun sudah, dia hidup tanpa kasih sayang dari bundanya. Lima tahun juga dia merasa menjadi cewek yang kehadirannya sama sekali tidak dianggap oleh ayahnya. Duka dan lara masih tertinggal dalam batinnya, terasa sesak kala dia mengingat tentang hal itu. Sesuatu hal yang mampu membuatnya terpuruk dalam kekosongan. Getir kehidupan sudah dia jalankan, tinggal menunggu bagaimana akhir kisahnya?

"Bunda, Nika kangen bunda. Kapan Nika ketemu sama bunda?" lirihnya, nyaris terdengar seperti bisikan. Lagi, dia menggigit bibir bawahnya, air matanya terus saja menetes tidak ingin berhenti.

"Ajak Nika kesana, bun, ajak Nika. Nika capek disini, enggak ada yang bisa ngertiin Nika," lagi. Seperti bisikan.

"Nika cuma pengin bahagia, bun. Nika pikir dengan perginya bunda, ayah bakalan lebih sayang dan perhatian sama Nika. Tapi malah terbalik, bun."

Tangan kekar menyentuh pundak Nika, cewek itu sedikit mendongak namun belum menoleh untuk melihat siapa yang memegang pundaknya. Hanya saja Nika merasa tangan itu milik orang laki-laki, Nika menghapus jejak air mata yang sedari tadi membasahi kedua pipinya. Kemudian, ia menoleh. Mendongak dan mendapati laki-laki sebaya tengah berdiri menatapnya dengan kepala menunduk.
Setelah mengetahui siapa orang itu, Nika kembali menatap nisan bundanya. Dalam keheningan, cowok itu jongkok disamping Nika. Tatapannya sama, tertuju kearah nisan bunda Nika.

Arini binti Zahidun.
Dia membatin.

"Gue baru tahu, kalau ini adalah makam bunda lo," ujarnya yang mampu membuat Nika menatap kearahnya.

Cowok itu tersenyum ketika Nika menatapnya.

"Dibelakang makam bunda lo itu, adalah makam ayah gue," lanjutnya. Nika yang mendengar ucapan cowok itu, menoleh untuk menatap makam yang berada tepat dibalik nisan bundanya.

"Beliau meninggal sewaktu gue masih kelas tiga SD," ada nada getir yang Nika dengar dari cowok itu.

Nika kembali menatap cowok disampingnya, yang terlihat menunduk dengan air muka penuh kesedihan. Nika memaklumi, dia juga merasakan hal yang sama. Tapi bedanya, cowok itu sudah ditinggal pergi oleh ayahnya semenjak kelas tiga SD. Sementara dirinya masih kelas satu SMP.

"Lo tinggal sama siapa?" kini suara Nika yang terdengar, cewek itu hanya sekedar mengalihkan pembicaraan agar tidak membahas mengenai masalah kepergian ayahnya.

"Ibu sama kakak gue," jawab cowok itu.

Nika terdiam, ia tidak lagi menatap cowok itu. Melainkan memilih untuk menatap nisan bundanya.

"Udah do'a?" Cowok itu bertanya.

Nika kembali menatapnya, lantas menggeleng.

"Berdo'a bareng, yuk. Gue yang mimpin, lo tinggal ucap Aamiin sama sebut nama bunda lo," cowok itu beranjak, lantas berjalan kearah makam ayahnya dan jongkok disampingnya. Ia mulai membaca basmallah lalu do'a yang selama ini dia bacakan setiap ia berziarah ke makam ayahnya. Nika mengucapkan apa yang cowok itu pinta.

***

"Kak Daniel," seru Nika yang melihat Daniel hendak berjalan mendahuluinya. Cowok itu--Daniel menoleh kearah Nika.

"Thank's ya, lo udah ajak gue berdo'a tadi,"  ujar Nika kemudian.

Daniel tersenyum, lalu mengangguk.

"Habis ini mau kemana?" tanya Daniel.

"Gue mau pulang aja, udah sore lagian."

"Masih pukul setengah empat. Oh ya, mau sholat Ashar dulu gak?"

Nika bergeming tanpa menjawab pertanyaan Daniel. Kemudian cewek itu mengangguk dengan tersenyum. "Boleh."

Daniel juga tersenyum, lantas mengajak Nika untuk menuju Masjid yang ada disekitar makam umum tersebut.

***

"Gimana hubungan lo sama Devan?" Daniel yang baru selesai mengikat tali sepatu kini pandangannya tertuju kearah Nika.

Cewek itu yang tadi sedang duduk diteras Masjid, untuk menunggu Daniel selesai mengikat tali sepatunya tiba-tiba merasakan sesak didadanya. Ia bergeming, membisu.

Tidak lama, terdengar helaan napas dari cewek itu. Daniel yang menyadari itu paham dengan jawaban Nika tanpa cewek itu memberi tahu.

"Baik-baik aja, tapi kita udah selesai-in semuanya." Kata Nika berusaha untuk tenang.

"Selesai, maksudnya?"

"Kita udah putus, kak. Gue yang minta dia putus sebelum dia ucap-in putus."

"Kenapa?"

Nika terdiam, bukan dirinya yang dengan mudah menceritakan masalah pribadinya kepada orang lain. Tapi setelah Nika berpikir, Daniel juga orang baik. Cowok itu pasti bisa menjaga rahasianya.

"Tapi kakak janji, enggak bakalan cerita apapun masalah ini kesiapapun. Termasuk temen-temen kakak," Nika menggeser duduknya untuk menghadap kearah Daniel.

Daniel mengangguk, setelah sekian detik terdiam. "Oke."

"Kita ceritanya sambil jalan aja, ya. Jangan disini. Kakak enggak bawa motor, kan?" usul Nika.

"Enggak, sengaja jalan kaki tadi."

"Ya udah, ayok," cewek itu beranjak dari duduknya lalu melangkahkan kakinya bersama Daniel, meninggalkan Masjid yang beberapa waktu mereka gunakan untuk sembahyang tadi.

Dan Nika akan menceritakan semuanya pada Daniel, teman barunya yang mungkin bisa dia percaya untuk menjaga rahasia.

To be continue

Just A Dream [Completed]Where stories live. Discover now