32 - Hal Yang Dipertahankan

2.3K 77 0
                                    

Maaf, semakin absurd.

Happy reading

Kinar duduk menopang dagu dengan kedua tangannya yang dia tumpukan diatas meja kafe, pikirannya melebur entah kemana? Walaupun tatapannya tertuju pada satu  arah didepannya. Setengah jam yang lalu, Lena mengirimkan pesan untuknya. Bahwa cewek itu ingin menemuinya sore ini di kafe yang telah Lena tentukan.

Tidak berapa lama, cewek yang ditunggunya telah duduk dihadapannya. Kinar membuyarkan lamunannya dan beralih menatap wajah Lena yang tengah duduk dihadapannya. Cewek itu nampak biasa saja menurut Kinar. Membuat Kinar geram dengan sikap Lena, bisa-bisanya Lena bersikap seolah tak ada apapun dalam hubungannya dengan Devan dan Nika.

"Lo mau apa ajak gue ketemuan?" tanya Kinar  to the point.

"Lo udah tau kan kalo Devan cuma buat Nika taruhan?"

"Emang kenapa? Lo nggak mau, kalau Nika sampai tau kan?" Kinar meninggikan kedua alisnya.

Lena terdiam, memang benar yang dikatakan Kinar. Dia tidak ingin Nika mengetahui semuanya.

"Yap, bener banget. Gue kesini mau bicara kesepakatan sama lo," ujar Lena kemudian.

"Kesepakatan?" Kinar meninggikan kedua alisnya.

"Gue enggak mau kalau nanti Nika bakalan tau semuanya. Gue gak pingin dia sama Devan menjauh gara-gara kesalahan Devan."

"Tunggu, ini maksudnya apaan?"

"Gue udah lupain Devan, dan mulai sekarang gue dukung hubungan Devan sama Nika. Nah, karna itu gue minta lo jangan kasih tau semuanya. Gue pengen nebus kesalahan gue."

"Gak, gue gak setuju. Lo sama Devan sama aja, kalian nggak bisa dipercaya."

"Lo tau apa tentang Devan?" Lena memicing, menatap Kinar. "Gue kenal Devan lebih lama dari pada lo dan Nika. Gue tau karakter dia gimana? Dan gue setuju Devan sama Nika."

Kinar terdiam.

"Please,  bantu gue Ki."

***

"Kenapa?"

Devan menunduk, kedua kakinya memainkan pasir berwarna putih gading.

"Kenapa lo ajak gue kesini?" Nika menoleh, menatap cowok itu dengan datar.

"Gue mau ngomong, Nik," Devan mengangkat wajahnya, menatap Nika dengan tatapan teduhnya.

"Ngomong aja, gih, nggak usah bertele-tele."

"Huft," cowok itu menghela napas dengan jengah. "Maaf."

Hening, hanya terdengar gemuruh suara ombak laut yang menggulung ketepian. Nika dan Devan sama-sama diam, sama-sama canggung. Mata mereka tertuju kearah laut lepas didepan mereka.

"Diterima, tapi maaf buat apa?"

"Gue udah salah sama lo, Nik. Nggak seharusnya gue ninggalin lo dan milih dia, yang jelas-jelas adalah masa lalu gue."

"Tapi masa lalu itu berharga, kan?"

Ya, dia berharga, Nik. Gue ngelakuin semua ini demi dia. Ingin sekali dia  mengatakannya,  tapi itu tidak mungkin. Dia hanya bisa mengatakan dalam batinnya.

"Dulu."

"Dan harusnya, lo kejar dia sekarang. Kenapa balik jalan?"

"Udah gak ada gunanya," Devan merutuki dirinya sendiri setelah mengatakan itu.

Nika tersenyum sinis, tatapannya tidak teralih dari lautan luas itu.

"Van, semua yang udah lo sia-sia kan mungkin akan lebih berharga.  Terus kenapa lo enggak kejar Lena aja?" Nika menghadap Devan saat ini.

Devan bergeming, cowok itu memikirkan kalimat Nika. Ini bukan tentang hal yang disia-siakan Devan, apalagi itu adalah Lena. Justru yang disia-siakan Devan adalah Nika, bukan?

Sejujurnya,  Nika begitu muak dengan dirinya. Bukan dengan Devan, tapi dengan kepribadiannya. Dia ingin melupakan masa lalu,  dia ingin bahagia sekarang. Tapi karena dia terlalu percaya bahwa masa depan akan bahagia, maka beginilah. Entahlah, dunia terasa menipu dirinya. Hilang. Dan kehilangan yang dia rasakan saat ini, dia kehilangan orang-orang yang dia sayangi, dan setelah dia mampu menerima kehilangan itu. Sulit sekali untuk melupakannya.

"Nik," Devan memanggil, menatap manik mata Nika yang terlihat bersinar dan coklat  itu. Nika bergeming, ia tidak menjawab seruan atau panggilan Devan.

Sedetik kemudian,  Nika memutar kepalanya sembilan puluh derajat kearah Devan. Lantas dia tersenyum manis, penuh arti walaupun dalam hati dia hancur berkeping-keping.

"Gue ternyata masih suka sama lo, maaf cuma mainin lo aja. Tapi kali ini gue bakalan pertahanin apa yang udah gue sia-siakan."

Mata Nika membulat, menatap lurus-lurus lensa Devan yang selalu menatap dengan tajamnya. Nika diam, lalu Devan tersenyum tipis.

"Bolehkan, misalnya gue mau pertahanin apa yang udah gue sia-siakan?"

Nika masih diam.

"Dan lo adalah orang yang harus gue pertahanin."

Nika merasa kedua pipinya memanas seketika, dan ia yakin jika kedua pipinya saat ini sudah memerah. Malu, itu yang dia rasakan saat ini.
Tanpa sadar, hati Nika terasa berbunga-bunga. Dan Devan tidak menyadari hal itu.

To be continue

Just A Dream [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang