P A T A H [8]

360 18 0
                                    

Aku masih mengkhawatirkan Bara, setelah ia menerima telepon dari Ayahnya, Bara menghilang. Laki-laki itu sama sekali tidak menghubungiku, bahkan kehadirannya di sekolah alfa selama dua hari ini.

"Kira-kira Bara kemana ya, Ndin?" Aku masih gusar.

"Lo udah coba hubungi dia?"

"Nomor dia nggak aktif."

"Anak-anak di kelas juga nggak tau keberadaan dia," balas Andin. "Bahkan Ryan pun kecarian Bara."

Tubuhku semakin melemas, aku mengusap-ngusap wajahku kasar. Takut hal-hal buruk terjadi pada Bara.

"Tenang, Ka. Bara pasti bisa jaga diri dia baik-baik, kok." Andin mengusap-ngusap punggungku, memberi semangat.

Pikiranku berkecamuk. Banyak hal-hal yang aku takutkan, dan tanpa adanya kabar Bara yang menyatakan kalau dia baik-baik saja, semakin membuatku takut.

"Lo Kania, 'kan?" Seseorang berdiri di hadapanku.

Aku mendongak, dan melihat ada tiga orang cewek, dimana dua diantaranya aku kenali sebagai Regy dan Finka. "Iya dia Kania, Jen."

Cewek yang dipanggil Jeni itu langsung memaksaku untuk berdiri. Dari tatapannya, aku asumsikan ia sedang marah. "Mana cowok lo!?"

"Gue nggak tau."

Jeni tertawa bengis. "Nggak berani sekolah 'kan dia," katanya. "Cowok lo itu, punya utang ke gue 300rb!"

Mataku melebar mendengarnya. Perihal hutang tidak pernah Bara ceritakan padaku.

"Sekarang gue butuh banget uang itu karena bokap gue udah nagih surat SPP gue." Jeni masih bersidekap dada. "Dan pacar lo itu sama sekali nggak muncul. Dasar pengecut!"

Aku menghentakkan kaki ke lantai, sama sekali tidak terima. "Heh, belum tentu pacar gue gak datang itu karena takut utangnya lo tagih, ya!"

"Terus alasannya apa dong?" Jeni tersenyum sinis ketika aku tidak bisa menjawab pertanyaannya. "Nggak bisa jawab lo, 'kan."

Tanganku terkepal kuat menahan malu, sekarang ini banyak siswa-siswi IPS yang menonton adegan kami. Tidak jarang mereka juga ikut menjelek-jelekkan Bara.

Jeni tersenyum sekali lagi, entah kenapa aku membenci senyuman perempuan yang sedang memancing keributan disini. "Gue butuh uang itu, dan Bara nggak ada disini. Lo pacarnya 'kan? Jadi lo bisa bayarin utang-utang pacar lo itu dulu ke gue."

Mataku melebar lagi. Uang tiga ratus ribu?

Uang bulananku bahkan belum dikasih untuk bulan ini.

"Cepetan! Ada 'kan?" desaknya.

"Gak usah banyak bengong, cepetan!" desak Regy, ikut-ikutan.

Aku menahan napas, mengontrol emosi. Lalu mengeluarkan dompetku, mengambil uang berwarna merah yang hanya tersisa dua lembar di dalam dompetku.

"Gue Cuma punya dua ratus ribu," kataku.

Mereka bertiga mendengus. Tapi tetap mengambil uangku, dan berkata. "Jangan lupa seratusnya, lagi, ya, pacarnya Bara."

Kemudian mereka pergi.

Dan perasaanku campur aduk saat ini.

***

Part terpanjang, huahaha

Patah Hati untuk yang Kesekian KalinyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang