[Empat Puluh Dua] //: Mulai Sulit

2.6K 144 7
                                    

***

"Di, bangun. Diandraa ... " Arnold menepuk-nepuk ringan pipi Diandra agar gadis itu terbangun.

"Diandraa!!" Diandra menggeliat lalu perlahan matanya terbuka dan sosok yang pertama kali ia lihat adalah Arnold dengan seragam yang sudah rapi.

"Ayo bangun. Gue anterin lo pulang terus kita ke sekolah bareng." kata Arnold terdengar hangat. "Cepet, kalo gak mau telat. Gue nunggu di bawah ya." lanjutnya lalu berjalan ke luar kamar.

Diandra akhirnya bangkit dan berjalan ke arah kamar mandi dan hanya mencuci wajahnya. Diandra melihat pantulan wajahnya dan seketika mengulum senyum.

Diandra pov

Aku menjadi teringat saat hujan petir kemarin, dengan seenak jidat aku memeluk Arnold begitu erat. Tidak tahu malu. Tapi, kalian harus tahu saat itu aku memang ketakutan aku tidak peduli siapa yang aku peluk, sekalipun itu Vanesha aku pasti akan memeluknya begitu erat juga.

Aku sedikit takut jika Arnold marah karena aku memeluknya tiba-tiba, tapi ketakutan ku akan hujan yang disertai suara petir lebih besar. Jadi, tidak peduli semarah apa Arnold ketika aku memeluk dan ingin berlindung padanya yang jelas aku takut dan Arnold hanya satu-satunya orang yang dapat ku jadikan pelindung.

Apa aku boleh jujur?

Jika iya, aku ingin berkata jujur bahwa aku sangat senang ketika menyadari bahwa Arnold tidak marah akan tindakan bodoh ku itu, ia bahkan membalas pelukan ku tidak kalah erat.

Dan yang membuat aku merasa lebih senang lagi adalah ketika ia tidak hanya melindungi ku tapi ia juga berusaha menenangkan ku. Meskipun awalnya usaha yang ia lakukan malah membuat ku menangis tapi ia tidak menyerah, ia menelpon Ibuku untuk meminta solusi agar dapat menenangkan ku. Hingga akhirnya ia berhasil.

Aku sama sekali tidak berpikir bahwa ketakutan ku ini mempersulitnya, saat itu yang ada dipikiran ku hanyalah bagaimana caranya agar aku bisa terlindungi dari suara derasnya air hujan dan petir yang begitu terdengar menyeramkan di telinga ku.

Aku hanya terus berkata takut saat Arnold bertanya, ia menyuruh ku tidur seperti apa kata Ibuku tapi aku tidak menurutinya karena aku memang tidak akan bisa tidur jika masih mendengar suara hujan. Ia menghela napasnya lalu hanya bisa memeluk dan membelai rambutku.

Aku sedikit tenang akan perlakuannya itu tapi rasa takut ku tetap lebih besar. Maafkan aku Arnold.

Hingga akhirnya sebuah benda menyumpal telingaku dan benda itu adalah headset yang memang sengaja Arnold pasang di telingaku. Lalu alunan musik terdengar dan meminimalisir suara derasnya hujan. Rasa takut ku sedikit hilang namun suara petir yang sesekali menggelegar masih terdengar, aku memeluk Arnold saat suara petir itu terdengar dan Arnold langsung membalas pelukanku seolah ia sedang melindungiku.

Ia terus membelai rambut ku menenangkan hingga akhirnya aku benar-benar tertidur dan melupakan ketakutan yang membuat aku bertindak bodoh pada Arnold.

Pagi harinya aku terbangun karena tepukan di pipiku, aku melihat Arnold tersenyum hangat kepadaku. Apa aku salah jika aku merasa disayangi dan dilindungi oleh pemuda itu? Perlakuannya sungguh membuat hatiku tersentuh.

Tapi tetap saja, pemuda itu Arnold. Sekalipun ia bersikap hangat atau sangat hangat, sewaktu-waktu sikapnya itu pasti berubah menyebalkan.

Aku bertekad bahwa aku akan pura-pura lupa akan apa yang telah ku lakukan padanya. Dan semoga dia pun tidak mengungkitnya.

Author pov

"Lo udah gak papa kan?" tanya Arnold sedikit menoleh ke arah boncengannya.

"Udah lebih baik."

Behind Bullying [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang