1

6.9K 617 61
                                    

Aku tidak tahu apa yang kulakukan pada diriku sendiri, tapi aku merasa bahwa aku melakukan hal yang bodoh. Berkamuflase sebagai orang gila? Benar-benar pilihan yang tepat, Kang Seulgi. Bayangkan saja kau berdiri di sekeliling orang-orang tak waras. Kurasa perlahan-lahan aku juga akan menjadi gila.

Ingin tahu apa hal bodoh lainnya? Aku merasa senang dikelilingi oleh orang-orang gila. Tentu saja bukan karena aku gila, tapi karena aku merasa bebas berada disini. Tidak ada yang memperhatikanku, tidak ada yang mengurusi kehidupanku, tidak ada yang mengawasiku, tidak ada yang peduli padaku. Aku bebas sebagai wanita yang mandiri. Tempat ini merupakan pelarian yang tepat bagiku. Jika kalian ingin melarikan diri dari kenyataan, pergilah ke rumah sakit jiwa. Kalian bisa melakukan apa saja yang kalian mau tanpa harus memikirkan pandangan orang lain, karena mereka sudah menganggap kalian gila.

Setiap pagi aku selalu disirami oleh ceramah-ceramah yang disampaikan oleh mantan pemuka sekte pemuja matahari. Sambil menikmati sarapan yang disiapkan oleh suster-suster disini, aku duduk dalam sebuah lingkaran yang dibuat oleh para pemuja matahari tersebut. Terkadang aku terkekeh mendengar hal tidak masuk akal yang disampaikan. Matahari selalu menghilang saat menjelang malam karena dia tidak ingin dianggap sombong oleh para hambanya? Yang benar saja.

Sama seperti sebelumnya, pagi ini aku bersiap untuk mendapat siraman pagi dari sekte kesayanganku. Aku berjalan menuju ruang biasa para orang gila berkumpul dan menghampiri kerumunan orang yang sedang menatap kagum lelaki yang berceramah didepannya. Kutarik salah satu kursi dan bergabung sambil mengeluarkan makanan yang kubawa dari kamarku. Sepertinya ceramah kali ini lebih istimewa karena mereka menyediakan kursi. Biasanya mereka hanya membiarkanku duduk di lantai yang keras dan dingin. Dan itu menjadikan salah satu alasan aku tidak menghormati dewa mereka. Mana mungkin aku mau menghormati dewa yang bahkan tidak memberikan kenyamanan bagi hamba-hambanya dalam mendengarkan ceramah.

"...pada hari ini, selasa, dewa yang besar, dewa matahari, masih bersedia muncul untuk menyinari hamba-hambanya. Sebagai hamba-hamba yang mengagungkannya, maka kita harus berteriak penuh kemenangan atas kebesaran dari dewa matahari!! DEWA MATAHARI!!"

"DEWA MATAHARI....yeah hahahaha..."

Jangan judge aku karena aku hanya menganggap semua ini lelucon. Jadi saat aku tertawa, jangan marah padaku.

Kugigit sepotong wortel yang kugenggam tanpa berusaha menutupi suara berisik kunyahanku. Ceramah kali ini tidak menarik, mereka hanya menyuruh untuk berdoa berdoa dan berdoa. Seperti sang dewa akan mengampuni dosaku saja. Kulirik seseorang yang duduk dengan gelisah disampingku.

"Hai, Carol..." sapaku pada gadis itu. Carol mengadahkan kepalanya sedikit dan menatapku curiga, bibirnya komat-kamit tidak jelas sambil mendesiskan sesuatu. Jari-jarinya mulai berdarah karena terus digaruk olehnya.

"Harus berdoa! Harus berdoa! Kiamat akan datang! Kiamat sebentar lagi akan datang!" Semakin lama, kedua mata Carol melotot padaku. Wajahnya juga semakin mendekat dan aku bisa merasakan bau neraka dari nafasnya. "HARUS BERDOA!! HARUS BERDOA!!" Ia berteriak tepat didepan wajahku, membuatku sontak berteriak ketakutan. "AAAAA!!! SINGKIRKAN DIA DARIKU!!!"

Aku terjatuh dari kursi sambil meronta-ronta. Aku bisa merasakan Carol meyarap keseluruh tubuhku dengan nafasnya yang bau dan jari-jarinya yang membusuk. Leherku terasa dicekek dan aku tidak bisa bernafas. Aku bahkan belum berdoa dan aku akan mati sekarang!?

Suasana menjadi kacau. Orang-orang berlarian kesana kemari. Seorang dokter menyuntikkan sesuatu padaku dan kemudian para staff mulai menyeretku pergi dari tempat tersebut. Tubuhku lemas dan pandanganku mulai memudar, tapi aku masih bisa mengenali siluet orang yang berdiri di depan pintu. Saat aku melihat Park Jimin, aku tidak bisa mengontrol diriku sendiri. Aku ingin berteriak dan meronta jika saja tidak dipengaruhi oleh obat. Sebelum pandanganku benar-benar menghilang, aku kembali menyaksikan sosok yang hendak membunuh Park Jimin.

Saat kukatakan tempat ini merupakan pelarian terbaik, itu benar. Tapi aku juga tidak bisa melewatkan fakta bahwa tempat ini adalah mimpi buruk.

###

Kedua kakiku tersilang. Sambil bersandar pada sandaran kursi yang empuk, aku menyalakan sebatang rokok. Kuhembuskan asap nikotin sebelum menatap lelaki yang duduk tak jauh dariku. "Kurasa kau sudah tahu bahwa aku ini normal. Lalu mengapa aku masih harus melakukan konsultasi padamu?"

Lelaki itu menyunggingkan senyumnya sebentar kemudian membuka beberapa lembar kertas didepannya. "Sebaiknya kau berhenti merokok karena itu tidak baik untuk tubuhmu," ujar lelaki dengan name tag Kim Taehyung itu tanpa melirik padaku. Aku terkekeh mendengar lelucon itu. "Aku memang sudah rusak sejak awal," balasku dan membuatnya melirik datar.

Taehyung masih diam sampai aku berinisiatif menyulutkan rokokku pada asbak yang tersedia. Seharusnya dia mengatakan sejak awal bahwa dia menyukai rokok sehingga aku tidak harus menyia-yiakan rokok berhargaku. "Kau puas?" Aku memandangnya dengan kesal dan dia menyunggingkan senyum menang.

"Baiklah, Kang Seulgi-ssi..."

"Please, jangan terlalu formal. Aku tidak menyukai vibe-nya."

"Okay... Kang Seulgi, menurutmu mengapa kau berada dikantorku saat ini?" Taehyung menatapku datar dan kubalas dengan tatapan aneh. How am I supposed to know? Is he joking? Kukedikkan bahuku, "ummm... revolusi, global warming, kelaparan? Aku tidak tahu mengapa aku berada disini dan aku tidak peduli."

Aku tidak tahu lelaki jenis apakah Kim Taehyung ini yang jelas ekspresinya tidak berubah sejak aku duduk dihadapannya. "Dengar, aku tidak membutuhkan konsultasi apapun. Aku ini normal dan kau tahu itu."

"PTSD dan ambivalent," ucap Taehyung tiba-tiba. Aku mengeryit. "Okay... what was that?"

Lelaki itu menghela nafas dalam-dalam. "Post-traumatic syndrome disorder, gangguan trauma yang disebabkan oleh kejadian tragis yang pernah dialami. Aku tidak tahu kejadian apa saja yang pernah kau alami tapi kecelakaan yang kau dapatkan kemarin bisa menjadi salah satu pemicunya..."

"Lalu ambivalent, perasaan yang muncul bersamaan. Negative dan positif. Suka dan tidak suka..."

Aku tertawa renyah dan cemas disaat yang bersamaan. "Apa maksudmu?" Aku tidak ingin bercanda lagi. Lelaki ini mengatakan bahwa aku memiliki kesehatan mental yang terganggu padahal aku merasa baik-baik saja. Konyol sekali!

"Kau selalu cemas ketika bertemu dengan Jimin. Kau menatapnya seakan dia adalah mimpi buruk. Trauma yang didasari oleh memori terhadap Jimin membuatmu lepas kendali namun disaat yang bersamaan kau tidak ingin meninggalkannya..."

"Omong kosong apa yang kau maksud?" Aku bersidekap. Kedua mata kami saling menyerang. Berani sekali dia mengatakan hal menjijikan seperti itu. Kim Taehyung bukanlah tuhan yang pantas menilaiku begitu saja. "Apa hubungannya Park Jimin dengan semua ini? Apa dia yang menyuruhmu untuk melakukannya?"

Taehyung sedikit memasang wajah sengak. "Aku ini mengusai ilmu psikologis. Tidak perlu kau menjawabnya, aku bisa tahu bahwa perkataanku benar. Mengapa kau melakukan semua ini padahal kau jelas-jelas mencintainya?"

Kali ini aku yang balik tersenyum. Kumainkan ujung bajuku sebentar dan menyelipkan helaian rambut ke belakang telingaku. "Kau tahu, Dokter Kim Taehyung, aku melakukannya karena aku bisa melihat masa depan..."

"...aku melihat kematian Park Jimin, oleh tanganku sendiri. Jadi sebaiknya kau diam mengenai hal sialan ini dan jangan pernah ikut campur! Atau... kau juga ingin aku meramal masa depan gadis yang kesayanganmu itu?"

Aku berdiri diiringi oleh tatapan tajam Taehyung. Lelaki itu sepertinya sedikit kesal karena aku menyinggung gadis kecilnya. Lagipula, masih terlalu cepat baginya untuk ikut campur dalam urusanku dan Park Jimin. Akan ada saat dimana aku akan menyeretnya masuk, tapi tidak sekarang.

Ini baru permulaan.

"Mengapa kau begitu berhasrat ingin membunuh Jimin?"

Suara Taehyung menghentikan langkahku. Aku membalikkan tubuhku sedikit.

"Kau mengetahuinya... I love him." Aku sedikit berbisik namun Taehyung dapat mendengarnya.

"Lalu mengapa?"

Oh, Ya Tuhan, mengapa begitu banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh lelaki ini? Apakah aku benar-benar harus memulai cerita ini dengan pembahasan percintaan?

"Dude, love is joke..."


Kamelion - Wild Liar IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang