3

3K 449 34
                                    

Aku menunggu dengan malas dalam antrian. Setelah beberapa orang di depanku pergi, aku berhadapan dengan suster Arin. Wanita itu tersenyum ramah padaku seraya menyodorkan gelas kecil berisi obat dan air. Aku mengeryit setelah mataku menangkap sesuatu yang tidak familier.

"Kurasa kau memberiku obat terlalu banyak," ucapku. Menatapnya aneh.

"Dokter Kim menambahkan dosis untukmu," jelasnya.

"Tapi aku tidak—"

"Lebih cepat, lebih baik. Antrian dibelakang masih panjang." Suster Fiona menginterupsiku dari samping suster Arin dengan wajahnya yang selalu masam. Tubuhnya yang gemuk dan rambut tak pernah memanjang membuatku berspekulasi bahwa wanita itu tidak senang dengan pekerjaannya. Tatapan kami sempat beradu dengan tajam satu sama lain, tapi aku mengakhirinya dan langsung menelan obatku tanpa menyentuh air yang disediakan. Aku tidak bisa berada di dekat suster Fiona dengan tahi lalatnya yang berbulu. Terlalu menggelikan.

Aku berhenti didepan jendela besar kemudian memuntahkan obat yang kusimpan didalam mulutku. Wajahku beralih pada gadis yang juga melakukan hal serupa. Ia tersenyum lebar. "Wah, kupikir hanya aku yang cukup pintar disini untuk tidak diracuni oleh para suster," ucap Lisa.

"Kau lah yang cukup bodoh untuk tidak meminum obat-obat tersebut, Gadis Psikopat," sinisku. Lisa terkekeh, lalu mengeluarkan sekotak rokok. "Mereka harus diam-diam memasukkan obat ke dalam rokok-ku jika ingin menyembuhkanku."

Pandanganku mengikuti kemana asap rokok milik Lisa mengepul dan berhenti saat kudapati Park Jimin berdiri dibawah sana. Kepalanya terdongak ke arahku. Matanya jelas-jelas tengah menatapku. Aku yakin tatapan kami saling bertemu, hanya saja aku yang mengakhirinya duluan.

"Hei, kau mau kemana?!" seru Lisa dari belakang. Aku terus melangkah, berjalan menuju satu-satunya tempat yang dapat melindungiku. Jemariku meraih kenop pintu dan berkata, "Aku ingin sendirian."

"Baiklah. Aku juga harus menatap dokter impianku yang tengah berjalan kesini," sahut Lisa. Kemudian pintu tertutup. Aku bisa mendengar suara Lisa dengan lantang melarang siapapun mendekati kamar kami. Kutarik sebuah notebook kecil dari sela-sela kasur. Pusat dari seluruh rencanaku tertulis disana sehingga menjadikannya sebuah buku sakral yang wajib kulindungi. Dan tebak apa yang kutulis tepat dibawah nama Lisa?

Two options for Lalisa Manoban: kill or being killed

Two options for Kang Seulgi: alive or Park Jimin or die or all

But you can only choose one, Kang Seulgi.

Kuselipkan kembali buku tersebut. Hampir kurebahkan tubuhku ke atas kasur namun ku hentikan untuk mendengar celotehan Lisa di luar, "...matahari tidak melahirkanmu, tapi matahari membudakimu! Jika kau percaya bahwa mataharimu yang paling berkuasa, maka Aiden akan menghancurkannya! Dua jiwa tidak dapat menggiringku, maka kuhancurkan salah satunya...."

Tubuhku menengang. Mataku membulat tak percaya. Emosiku mulai memanas. Darimana gadis itu—

Pintu terbuka dengan kasar. Lisa terlonjak kaget melihatku yang muncul begitu mendadak. "Ada apa denganmu!?" seru gadis itu saat kucengkeram kedua bahunya kuat. "Darimana kau mengetahuinya!?"

Lisa sedikit panik melihatku yang bersikap seperti orang gila. Ya, aku memang gila. Dan kegilaan ini menghidupkanku. "Apa maksudmu!?" gumamnya.

"Dua jiwa tidak dapat menggiringku, maka kuhancurkan salah satunya...." Kuucapkan kalimat yang sama dengan ucapannya barusan. Namun kali ini penuh penekanan dan intimidasi. Lisa menatapku ngeri sambil berdesis, "Aku hanya mengulang kalimat yang diucapkan oleh lelaki penyembah matahari itu..."

Kamelion - Wild Liar IIWhere stories live. Discover now