10

2.1K 321 39
                                    

"Stay in the car!"

Aku menuruti perintah Jimin. Kulihat lelaki itu dengan cepat menerobos diantara polisi-polisi yang berkerumun. Bunyi sirine yang melengking dari beberapa mobil polisi beserta lampu merah-birunya yang terang benderang mampu menarik perhatian warga, akan tetapi karena dearah ini teramat sepi dari penduduk, maka semua bunyi-bunyian dan lampu itu tidak berguna. Sepertinya aku satu-satunya penonton disini.

Mataku memandang pada rumah yang beberapa waktu lalu kusambangi, rumah Taehyung. Terlihat bekas dobrakan pada pintu depannya. Dari kejauhan aku melihat Jeon Jungkook berlari dengan wajah yang tak kalah cemas dari Jimin tadi. Apa yang sebenarnya terjadi?

Tak lama kemudian, Jimin kembali ke mobil. Lewat jendela yang kuturunkan untuknya, lelaki itu berkata dengan nafas terengah-engah,

"Sebaiknya kau pulang duluan. Aku akan cukup lama disini."

"Apa yang terjadi?" tanyaku.

Belum sempat Jimin menjawab, perhatianku teralih pada sosok yang di giring oleh polisi-polisi itu untuk masuk kedalam mobil, Im Nayeon. Dan dibelakangnya turut berjalan Ryu Sujeong.

Crap.


###


Pagi yang suram. Aku hanya tidur selama dua jam sebelum Jimin menarikku dari kasur hanya untuk memerintahku membuatkannya sarapan. "Energi pagi bagus untuk gadis muda sepertimu," sindirnya ketika aku membalikkan telur yang hampir gosong dengan kasar.

"Aku adalah wanita dua puluh empat tahun yang sudah menua, jadi berhenti membangunkanku di pagi hari!" seruku kesal. Bisa-bisanya dia berlagak menjadi seseorang yang memiliki segala hak untuk mengatur hidupku. Mentang-mentang belakang ini aku tidak membuat masalah padanya bukan berarti aku sudah melunak padanya. Yang benar saja!

Piring yang berisikan nasi goreng yang tidak kuketahui rasanya dan telur yang hampir gosong kuhempaskan tepat dihadapan Jimin. Bukan perilakuku yang menuai perhatian dari Jimin, akan tetapi makanan yang tak niat kubuat mendapatkan perhatiannya. Wajahnya begitu bahagia dan senyumnya mengembang lebar. Tunggu saja hingga dia tahu rasa dari makanan tersebut. Jimin menarik kursi disampingnya, menyuruhku untuk duduk disana. Tanpa berkata apa pun, Jimin menyuapkan makanan didepannya dengan santai sedangkan hatiku berdebar menunggu reaksi yang diberikannya. Ini sudah sejak lama aku mulai memasak lagi, apalagi memasakkan untuk orang lain. Jujur saja, aku penasaran dengan rasanya.

"Hmmm..." Jimin berlagak seperti seorang juri dalam ajang memasak. "...rasanya manis, tapi tidak semanis bibirmu."

Dan bibir yang baru saja berucap itu langsung mendapat tamparan keras dari tanganku yang memanas. Bisa-bisanya dia mengungkit kejadian itu lagi. Lalu karena penasara, aku menyendokkan sedikit nasi goreng ke dalam mulutku dan ya... rasanya begitu manis. Sepertinya aku memberikan gula daripada garam. Aku sudah tahu bahwa masakan pertamaku sejak lama akan berakhir gagal.

Sambil terkekeh kecil, Jimin berkata, "Sepertinya aku akan mendapatkan sarapan di kantin kantor lagi." Kemudian mengalungkan lengannya di bahuku, mendorong tubuhku pelan untuk bersandar pada bahunya. Entah karena terbawa suasana pagi yang begitu cerah atau karena karbohidrat dari gula yang baru saja kumakan, aku bersandar padanya. Tubuhku pada tubuhnya. Bisa kurasakan jemari Jimin yang bermain di rambut jelekku. Layaknya kisah-kisah romansa pada umumnya, kami berdua hanya diam sambil memandang pantulan dari pintu kulkas. Ah, aku benci kisah romansa. Menjijikan.

"Kang Seulgi..." panggil Jimin lembut. Aku hanya berdehem seraya memeluk kedua lututku. "Siapa itu Jonas? Apa hubungannya denganmu?"

"Darimana kau tahu nama itu?" tanyaku balik.

Kamelion - Wild Liar IIWhere stories live. Discover now